Monday, January 08, 2007

BAHAN UJIAN AKHIR SEMESTER 2006/2007

BAHAN UJIAN AKHIR SEMESTER 2006/2007

1. Buku E.M Griffin, "A First Look at Communication Theory", divisi Mass Communication.
2. Hand out kuliah yang bisa diakses di www.komunikasimassa-umy.blogspot.com
3. Berbagai hasil diskusi dikelas.

Sebagai informasi tambahan, ujian sebanyak 2 nomor, open book dengan durasi waktu 90 menit. Karena ujian open book, mahasiswa diharuskan membawa bahan ujian. Dilarang meminjam bahan ujian ke sesama peserta ujian saat ujian berlangsung. Selamat belajar.

Regrets,

Fajar Junaedi

Monday, November 21, 2005

TEORI KOMUNIKASI MASSA TERHADAP INDIVIDU

Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

Teori-teori yang terangkum dalam bagian terdahulu menekankan pada hasil publik dan kebudayaan dari komunikasi massa. Perkembangan kajian teori komunikasi massa lainnya, yang akan dibahas dalam bagian ini menekankan pada pengaruh individual dari komunikasi massa. Pada bagian ini, kita membahas beberapa dari teori tradisi pengaruh-individu dalam studi mengenai komunikasi massa.

Teori Pengaruh Tradisi (The Effect Tradition)
Teori pengaruh komunikasi massa dalam perkembangannya telah mengalami perubahan yang kelihatan berliku-liku dalam abad ini. Dari awalnya, para peneliti percaya pada teori pengaruh komunikasi “peluru ajaib” (bullet theory) Individu-individu dipercaya sebagai dipengaruhi langsung dan secara besar oleh pesan media, karena media dianggap berkuasa dalam membentuk opini publik. Menurut model ini, jika Anda melihat iklan Close Up maka setelah menonton iklan Close Up maka Anda seharusnya mencoba Close Up saat menggosok gigi.
Kemudian pada tahun 50-an, ketika aliran hipotesis dua langkah (two step flow) menjadi populer, media pengaruh dianggap sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh yang minimal. Misalnya iklan Close Up dipercaya tidak akan secara langsung mempengaruhi banyak orang-orang untuk mencobanya. Kemudian dalam 1960-an, berkembang wacana baru yang mendukung minimalnya pengaruh media massa, yaitu bahwa pengaruh media massa juga ditengahi oleh variabel lain. Suatu kekuatan dari iklan Close Up secara komersil atau tidak untuk mampu mempengaruhi khalayak agar mengkonsumsinya, tergantung pada variabel lain. Sehingga pada saat itu pengaruh media dianggap terbatas (limited-effects model).

Sekarang setelah riset di tahun 1970-an dan 1980-an, banyak ilmuwan komunikasi sudah kembali ke powerful-effects model, di mana media dianggap memiliki pengaruh yang kuat, terutama media televisi.Ahli komunikasi massa yang sangat mendukung keberadaan teori mengenai pengaruh kuat yang ditimbulkan oleh media massa adalah Noelle-Neumann melalui pandangannya mengenai gelombang kebisuan.

Uses, Gratifications and Depedency
Salah satu dari teori komunikasi massa yang populer dan serimg diguankan sebagai kerangka teori dalam mengkaji realitas komunikasi massa adalah uses and gratifications. Pendekatan uses and gratifications menekankan riset komunikasi massa pada konsumen pesan atau komunikasi dan tidak begitu memperhatikan mengenai pesannya. Kajian yang dilakukan dalam ranah uses and gratifications mencoba untuk menjawab pertanyan : “Mengapa orang menggunakan media dan apa yang mereka gunakan untuk media?” (McQuail, 2002 : 388). Di sini sikap dasarnya diringkas sebagai berikut :

Studi pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen media, bukannya pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa. Dalam kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai bagian dari khalayak yang aktif dalam memanfaatkan muatan media, bukannya secara pasif saat mengkonsumsi media massa(Rubin dalam Littlejohn, 1996 : 345).

Di sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota khalayak dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan pemilihan terhadap media massa untuk mengetahui kebutuhannya, memenuhi kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya. Media massa dianggap sebagai hanya sebagai salah satu cara memenuhi kebutuhan individu dan individu boleh memenuhi kebutuhan mereka melalui media massa atau dengan suatu cara lain. Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio berupa opera sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar (McQuail, 2002 : 387). Kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera sabun mereka dapat memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang mereka miliki. Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membeca surat kabar mereka selain mendapat informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman, saling berbagai informasi dan rutinitas keseharian (McQuail, 2002 : 387).

Riset yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail dan kawan-kawan dan mereka menemukan empat tipologi motivasi khalayak yang terangkum dalam skema media – persons interactions sebagai berikut :
Diversion, yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan masalah; sarana pelepasan emosi
Personal relationships, yaitu persahabatan; kegunaan sosial
Personal identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas; penguatan nilai
Surveillance (bentuk-bentuk pencarian informasi) (McQuail, 2002 : 388).
Seperti yang telah kita diskusikan di atas, uses and gratifications merupakan suatu gagasan menarik, tetapi pendekatan ini tidak mampu melakukan eksplorasi terhadap berbagai hal secara lebih mendalam. Untuk itu mari sekarang kita mendiskusikan beberapa perluasan dari pendekatan yang dilakukan dengan teori uses and gratifications.

Teori Pengharapan Nilai (The Expectacy-Value Theory)
Phillip Palmgreen berusaha mengatasi kurangnya unsur kelekatan yang ada di dalam teori uses and gratification dengan menciptakan suatu teori yang disebutnya sebagai expectance-value theory (teori pengharapan nilai).
Dalam kerangka pemikiran teori ini, kepuasan yang Anda cari dari media ditentukan oleh sikap Anda terhadap media --kepercayaan Anda tentang apa yang suatu medium dapat berikan kepada Anda dan evaluasi Anda tentang bahan tersebut. Sebagai contoh, jika Anda percaya bahwa situated comedy (sitcoms), seperti Bajaj Bajuri menyediakan hiburan dan Anda senang dihibur, Anda akan mencari kepuasan terhadap kebutuhan hiburan Anda dengan menyaksikan sitcoms. Jika, pada sisi lain, Anda percaya bahwa sitcoms menyediakan suatu pandangan hidup yang tak realistis dan Anda tidak menyukai hal seperti ini Anda akan menghindari untuk melihatnya.

Teori Ketergantungan (Dependency Theory)
Teori ketergantungan terhadap media mula-mula diutarakan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin Defleur. Seperti teori uses and gratifications, pendekatan ini juga menolak asumsi kausal dari awal hipotesis penguatan. Untuk mengatasi kelemahan ini, pengarang ini mengambil suatu pendekatan sistem yang lebih jauh. Di dalam model mereka mereka mengusulkan suatu relasi yang bersifat integral antara pendengar, media. dan sistem sosial yang lebih besar.
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and gratifications, teori ini memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal dari media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media massa. Namun perlu digarisbawahi bahwa khalayak tidak memiliki ketergantungan yang sama terhadap semua media. Lalu apa yang sebenarnya melandasi ketergantungan khalayak terhadap media massa ?

Ada dua jawaban mengenai hal ini. Pertama, khalayak akan menjadi lebih tergantung terhadap media yang telah memenuhi berbagai kebutuhan khalayak bersangkutan dibanding pada media yang menyediakan hanya beberapa kebutuhan saja. Jika misalnya, Anda mengikuti perkembangan persaingan antara Manchester United, Arsenal dan Chelsea secara serius, Anda mungkin akan menjadi tergantung pada tayangan langsung Liga Inggris di TV 7. Sedangkan orang lain yang lebih tertarik Liga Spanyol dan tidak tertarik akan Liga Inggris mungkin akan tidak mengetahui bahwa situs TV 7 berkaitan Liga Inggris telah di up date, atau tidak melihat pemberitaan Liga Inggris di Harian Kompas.

Sumber ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Model ini menunjukkan sistem media dan institusi sosial itu saling berhubungan dengan khalayak dalam menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi khalayak untuk memilih berbagai media, sehingga bukan sumber media massa yang menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial.
Untuk mengukur efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak, ada beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset etnografi.

Riset Eksperimen
Riset eksperimen (experimental research) merupakan pengujian terhadap efek media dibawah kondisi yang dikontrol secara hati-hati. Walaupun penelitian yang menggunakan riset eksperimen tidak mewakili angka statistik secara keseluruhan, namun setidaknya hal ini bisa diantisipasi dengan membagi obyek penelitian ke dalam dua tipe yang berada dalam kondisi yang berbeda.
Riset eksperimen yang paling berpengaruh dilakukan oleh Albert Bandura dan rekan-rekannya di Stanford University pada tahun 1965. Mereka meneliti efek kekerasan yang ditimbulkan oleh tayangan sebuah film pendek terhadap anak-anak. Mereka membagi anak-anak tersebut ke dalam tiga kelompok dan menyediakan boneka Bobo Doll, sebuah boneka yang terbuat dari plastik, di setiap ruangan. Kelompok pertama melihat tayangan yang berisi adegan kekerasan berulang-ulang, kelompok kedua hanya melihat sebentar dan kelompok ketiga tidak melihat sama sekali.
Ternyata setelah menonton, kelompok pertama cenderung lebih agresif dengan melakukan tindakan vandalisme terhadap boneka Bobo Doll dibandingkan dengan kelompok kedua dan ketiga. Hal ini membuktikan bahwa media massa memiliki peran membentuk karakter khalayaknya.
Kelemahan metode ini adalah berkaitan dengan generalisasi dari hasil penelitian, karena sampel yang diteliti sangat sedikit, sehingga sering muncul pertanyaan mengenai tingkat kemampuannya untuk diterapkan dalam kehidupan nyata (generalizability). Kelemahan ini kemudian sering diusahan untuk diminimalisir dengan pembuatan kondisi yang dibuat serupa mungkin dengan keadaan di dunia nyata atau yang biasa dikenal sebagai ecological validity Straubhaar dan Larose, 1997 :415).

Survey
Metode survey sangat populer dewasa ini, terutama kemanfaatannya untuk dimanfaatkan sebagai metode dasar dalam polling mengenai opini publik. Metode survey lebih memiliki kemampuan dalam generalisasi terhadap hasil riset daripada riset eksperimen karena sampelnya yang lebih representatif dari populasi yang lebih besar. Selain itu, survey dapat mengungkap lebih banyak faktor daripada manipulasi eksperimen, seperti larangan untuk menonton tayangan kekerasan seksual di televisi dan faktor agama. Hal ini akan diperjelas dengan contoh berikut.
Seorang peneliti melakukan penelitian mengenai efek menonton tayangan kekerasan seksual terhadap remaja. Yang pertama dilakukannya adalah menentukan sampel, kemudian membuat variabel independen yang berupa terpaan media (seperti, “Berapa kali Anda menonton tayangan kekerasan seksual di televisi dalam minggu kemarin ?”). Kemudian ditanyakan efek media massa yang menjadi variabel dependen, seperti kekerasan seksual yang dilakukan responden. Keduanya kemudian dibuat skala pengukuran yang tepat (ordinal, nominal atau interval). Setelah itu, diukur dengan rumus statistik yang sesuai (Straubhaar dan Larose, 1997 :414).

Riset Ethnografi
Riset etnografi (ethnografic research) mencoba melihat efek media secara lebih alamiah dalam waktu dan tempat tertentu. Metode ini berasal dari antropologi yang melihat media massa dan khalayak secara menyeluruh (holistic), sehingga tentu saja relatif membutuhkan waktu yang lama dalam aplikasi penelitian. Dalam penelitian yang menggunakan metode ini, para peneliti menggunakan teknik observasi, pencatatan dokumen dan wawancara mendalam. Dalam melakukan wawancara mendalam, peneliti harus mampu mengeksplorasi beragam informasi dari responden, tanpa melalui pertanyaan yang sifatnya kaku sebagaimana penelitian survey (Straubhaar dan Larose, 1997 :417). Peneliti hanya memerlukan daftar pertanyaan sebagai acuan dalam wawancara yang dapat dikembangkan secara lentur ketika mengadakan wawancara, sehingga daftar pertanyaan dalam metode ini dinamakan sebagai petunjuk wawancara (interview guide).
Misalnya, peneliti yang melakukan penelitian mengenai efek kehadiran media televisi terhadap kebudayaan penduduk Samin, sebuah sub suku Jawa yang hidup di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang selama ini terkenal dengan ketertutupannya dengan dunia luar. Yang dilakukan peneliti adalah mengamati secara seksama bagaimana masyarakat Samin mengkonsumsi televisi. Ikut bersama mereka menonton televisi, untuk mengamati apa saja yang mereka lakukan dan komentari pada saat menonton televisi, kemudian setelah itu mewawancarai mereka secara mendalam mengenai apa yang telah mereka tonton. Setalah itu semuanya dicatat secara lengkap, sehingga hasil dari penelitian ini kemudian akan sangat kaya informasi yang mendalam.

TEORI MEDIA DAN KHALAYAK DALAM KOMUNIKASI MASSA

Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

Tidak ada dalam teori media yang telah menyajikan dilema dan perdebatan yang pelik dalam kajian komunikasi massa selain studi khalayak media atau khalayak (audience). Para pembuat teori media berada pada posisi yang saling berjauhan mengenai konsensus tentang bagaimana untuk mengkonseptualkan khalayak dan pengaruh khalayak. Ada dua pandangan yang secara vis a vis berhadapan tentang sifat khalayak telah melibatkan dua dialektika yang berhubungan.

Pertama adalah adanya pertentangan antara dua gagasan yang menyatakan bahwa khalayak adalah publik massa dan di sisi yang lain, gagasan yang menyatakan bahwa khalayak adalah komunitas kecil. Kedua adalah pertentangan antara gagasan yang menyatakan khalayak adalah pasif dan gagasan yang meyakini bahwa khalayak adalah aktif. Perdebatan di atas kemudian terlihat dengan jelas mewarnai teori-teori di bawah ini.

Masyarakat Massa Vs Komunitas
Kontroversi mengenai masyarakat massa versus komunitas melibatkan beragam perspektif yang tidak sama dalam kajian komunikasi massa mengenai keberadaan khalayak. Sebagian kalangan memiliki perspektif bahwa khalayak sebagai massa yang tidak dapat dibedakan, dan beberapa yang lain melihatnya sebagai satu kesatuan kelompok kecil atau komunitas yang tidak seragam. Pada kaca mata perspektif seperti ini, khalayak dipahami sebagai populasi dalam jumlah yang besar yang kemudian bisa dipersatukan keberadaannya melalui media massa. Dalam perspektif kedua, khalayak dipahami sebagai anggota yang mendiskriminasi anggota kelompok kecil yang terpengaruh paling banyak dari yang segolongan.

Teori masyarakat massa merupakan sebuah konsep yang sangat kompleks sifatnya. Teori masyarakat massa memberikan suatu gambaran mengenai kehidapan massa di mana kehidupan komunitas dan identitas etnik telah tergantikan oleh relasi yang mengandung karakter depersonalisasi seluruh masyarakat.

Para penganut teori masyarakat massa memberi alasan mengenai teori yang mereka bangun. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa perkembangan cepat yang terjadi dalam komunikasi telah meningkatkan kontak manusia, sehingga pada akhirnya telah membuat masyarakat mengalami saling ketergantungan yang lebih besar dibandingkan di masa lalu. Namun ternyata saling ketergantungan ini kemudian mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan yang mempengaruhi semua masyarakat. Ketidakseimbangan ini berbentuk saling ketergantungan yang secara bersamaan membuat manusia semakin teralienasi satu dengan yang lain. Yang terjadi adalah keterputusan relasi komunitas dan keluarga, serta juga dipertanyakannya nilai-nilai lama.

Sebagai contoh kongkret adalah bagaimana masyarakat Badui di pedalaman Jawa Barat yang masih teguh memelihara tradisi mereka, dengan menolak kehadiran media massa. Relasi sosial mereka masih sangat dipengaruhi oleh tradisi yang bersendi nilai-nilai lama. Kondisi yang sangat berbeda akan kita jumpai dalam masyarakat Sunda yang telah berada di Kota Bandung yang sudah banyak menerima terpaan media. Relasi sosial mereka, terutama dengan keluarga dan tetangga, pasti lebih longgar dibandingkan dengan masyarakat Badui. Bisa jadi mereka tidak akan mengenal tetangga yang berada di sebelah rumah. Kondisi ini dapat dengan mudah kita jumpai di berbagai perumahan mewah yang saling teralienasi satu dengan yang lain.

Sedangkan dalam pendekatan komunitas isi media ditafsirkan di dalam komunitas berdasarkan makna-makna yang dikerjakan secara sosial di dalam kelompok, dan individu dipengaruhi lebih oleh sejawat mereka daripada oleh media. Menurut Gerard Shoening dan James Anderson, gagasan mengenai komunitas dalam kajian komunikasi massa melihat isi media sebagai sesuatu yang media-interpretif, di mana makna yang dilahirkan oleh pesan media dihasilkan secara interaktif di dalam kelompok orang yang menggunakan media dengan cara yang sama (Shoening dan Anderson dalam Littlejohn, 1996 : 332-333).

Khalayak Aktif versus Khalayak Pasif
Dalam pandangan teori komunikasi massa khalayak pasif dipengaruhi oleh arus langsung dari media, sedangkan pandangan khalayak aktif menyatakan bahwa khalayak memiliki keputusan aktif tentang bagaimana menggunakan media. Selama ini yang terjadi dalam studi komunikasi massa, teori masyarakat massa lebih memiliki kecenderungan untuk menggunakan konsepsi teori khalayak pasif, meskipun tidak semua teori khalayak pasif dapat dikategorisasi sebagai teori masyarakat massa. Demikian juga, sebagian besar teori komunitas yang berkembang dalam studi komunikasi massa lebih cenderung menganut kepada khalayak aktif.

Wacana di atas berelasi dengan pelbagai teori pengaruh media yang berkembang setelahnya. Teori “pengaruh kuat” seperti teori peluru (bullet theory) yang ditimbulkan media lebih cenderung untuk didasarkan pada khalayak pasif, sedangkan teori “pengaruh minimal” seperti uses and gratification theory lebih banyak dilandaskan pada khalayak aktif.
Dalam kajian yang dilakukan oleh Frank Biocca dalam artikelnya yang berjudul ”Opposing Conceptions of the Audience : The Active and Passive Hemispheres of Communication Theory” (1998), yang kemudian diakui menjadi tulisan paling komprehensif mengenai perdebatan tentang khalayak aktif versus khalayak pasif, ditemukan beberapa tipologi dari khalayak aktif.

Pertama adalah selektifitas (selectivity). Khalayak aktif dianggap selektif dalam proses konsumsi media yang mereka pilih untuk digunakan. Merka tidak asal-asalan dalam mengkonsumsi media, namun didasari alasan dan tujuan tertentu. Misalnya, kalangan bisnis lebih berorientasi mengkonsumsi Majalah Swasembada dan Harian Bisnis Indonesia untuk mengetahui perkembangan dunia bisnis, penggemar olahraga mengkonsumsi Tabloid Bola untuk mengetahui hasil berbagai pertandingan olah raga dan sebagainya.

Karakteristik kedua adalah utilitarianisme (utilitarianism) di mana khalayak aktif dikatakan mengkonsumsi media dalam rangka suatu kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu yang mereka miliki.

Karakteristik yang ketiga adalah intensionalitas (intentionality), yang mengandung makna penggunaan secara sengaja dari isi media. Karakteristik yang keempat adalah keikutsertaan (involvement) , atau usaha. Maksudnya khalayak secara aktif berfikir mengenai alasan mereka dalam mengkonsumsi media.

Yang kelima, khalayak aktif dipercaya sebagai komunitas yang tahan dalam menghadapi pengaruh media (impervious to influence), atau tidak mudah dibujuk oleh media itu sendiri (Littlejohn,1996 : 333).
Khalayak yang lebih terdidik (educated people) cenderung menjadi bagian dari khalayak aktif, karena mereka lebih bisa memilih media yang mereka konsumsi sesuai kebutuhan mereka dibandingkan khalayak yang tidak terdidik.

Kita bisa melihat tipologi khalayak pasif dan khalayak aktif ini dari konsumsi media cetak masyarakat di sekitar kita. Media cetak kriminal, seperti Pos Kota dan Lampu Merah di Jakarta, Meteor di Jawa Tengah, Koran Merapi di Yogyakarta dan Memorandum di Jawa Timur sangat populer di kalangan menengah ke bawah. Berbagai harian ini dapat dengan mudah dijumpai di lapak-lapak koran yang bersebaran di pinggir jalan dengan konsumen yang didominasi kalangan menengah ke bawah. Mereka mengkonsumsi media di atas dengan selektivitas yang menimal dan tujuan yang tidak begitu jelas. Berbeda dengan kalangan menengah ke atas yang lebih terdidik yang mengkonsumsi media massa dengan tujuan tertentu secara selektif. Misalnya, mereka yang aktif dalam kegiatan perekonomian tentu akan lebih memilih Bisnis Indonesia dibanding memilih media lain. Alasan mereka memilih media ini tentu saja karena harian ini lebih banyak mengupas masalah ekonomi dan dunia usaha yang berhubungan langsung dengan kehidupan mereka sehari-hari.

Namun mayoritas ahli komunikasi massa dewasa ini lebih meyakini bahwa komunitas massa dan dikotomi aktif-pasif merupakan konsep yang terlalu sederhana atau deterministik, karena konsep-konsep di atas tidak mampu menelaah kompleksitas sebenarnya dari khalayak. Bisa jadi pada saat tertentu khalayak menjadi khalayak aktif, namun pada saat yang lain mereka menjadi khalayak pasif, sehingga pertanyaannya kemudian bergeser lebih jauh mengenai kapan dan dalam situasi apa khalayak menjadi lebih mudah terpengaruh.

Monday, July 18, 2005

Ada Apa dengan Budaya Massa dan Budaya Pop ?


Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

Budaya massa sering diperbandingkan dengan budaya tinggi ( high culture ) yang berciri pada produk yang memiliki dua ciri khas. Pertama, diciptakan dan berada di bawah pengawasan elit budaya yang berperan sesuai tradisi estetis, sastra dan ilmu pengetahuan. Kedua standar yang ketat, yang tidak bergantung kepada konsumen produk mereka dan dilaksanakan secara sistematis. Sedangkan budaya massa mengacu kepada pengertian produk budaya yang dicitakan semata-mata untuk pasar. Ciri-ciri lain yang tidak tersurat dalam definisi tersebut adalah standarisasi produk dan perilaku massa dalam penggunaan produk tersebut (Mc.Quail, 1998 : 38 ). Dengan kata lain dalam budaya massa, orientasi produk adalah trend atau mode yang sedang diminati pasar.

Bahkan dalam bukunya yang paling berpengaruh One – Dimensional Man, Marcuse berkeyakinan bahwa dengan adanya kebudayaan massa, aspek progresif dari seni klasik telah dihapus hanya sekedar menjadi industri. Seni hanya menjadi nilai operasional dan keinginanya akan kebahagiaan diganti dengan kebutuhan yang salah atau palsu (false need) dalam masyarakat konsumtif ini. Itulah sebabnya Marcuse, sebagaimana halnya pemikir mahzab Frankfurt (Frankfurt School) lainya seperti Theodore Adorno memandang rendah kebudayaan populer (popular culture) karena sifatnya yang konservatif dan afirmatif. Kebudayaan populer, menurutnya selalu mendamaikan kita dengan kondisi represif dalam masyarakat kapitalis ini (Marwoto, 2001:37).

Menurut Adorno (dalam Storey [ed], 1994:202), karakteristik fundamental dari budaya populer, khususnya musik populer, termasuk di dalamnya musik rock adalah standarisasi (standarization). Karakteriktik yang membedakannya dengan bentuk high culture yang dianggap adiluhung.
Kritik terhadap pemikiran para pemikir Mahzab Frankfurt kemudian banyak berasal dari Center for Contemporary Cultural Studies (CCCS) atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Birmingham School yang. Para pemikir dari Mazhab Birmingham menyoroti kegagalan analisa para pemikir Mazhab Frankfurt dalam menganalisis kebudayaan, termasuk media culture dan seni yang dikandungnya. Kegagalan mahzab Frankfurt adalah disebabkan karena mereka melihat segala fenomena dari konteks kapitalisme kontemporer (Kellner, 1995 : 35).

Berbeda dengan Marcuse yang memandang rendah budaya populer, para pemikir Mazhab Birmingham seperti John Fiske menyatakan bahwa terminologi “popular” menunjukan bahwa budaya media mucul dari “people” (rakyat kebanyakan). Sebagaimana halnya di Amerika Latin, budaya populer menunjukan seni yang diproduksi dari dan untuk rakyat sebagai satu bentuk oposisi terhadap budaya yang hegemonik (hegemonic culture) yang berasal dari kelas yang berkuasa (Kellner, 1995 : 34).

Media culture merupakan perwujudan dari industrial culture, yang diorganisasikan atas satu model produksi massa dan diproduksi untuk audiens massa menurut genre yang diminatinya, mengikuti aturan (rules), kode (code) dan formula yang konvensional. Ini menunjukan bahwa media culture merupakan bentuk dari budaya yang komersial (commercial culture) dan produksinya merupakan komoditi yang diusahakan untuk memperoleh keuntungan (profit) yang diproduksi oleh korporasi besar yang terlibat dalam usaha akumulasi kapital (Kellner, 1995:1).

Media culture mampu menunjukan siapa yang memegang kuasa (power) dan siapa yang tidak memegang kuasa (powerless), siapa yang berkuasa untuk melakukan kekerasan dan kekuatan serta siapa yang tidak berkuasa untuk melakukannya. Mempelajari bagaimana membaca, mengkritisi dan melakukan resistensi terhadap manipulasi media dapat membantu individu untuk memperkuat (empower) diri mereka sendiri dalam relasinya kepada ideologi dominan dan budaya dominan (Kellner, 1995:2).
Musik Rock, Sebuah Analisis Singkat tentang Budaya Pop

Di tahun 1960-an relasi antara rock dan revolusi bukanlah merupakan satu joke. Bob Dylan, misalnya terpengaruh oleh gerakan sayap kiri sehingga ia sering dimata-matai oleh agen-agen FBI. Solidaritas politik juga sering dimunculkan dalam berbagai lagu rock dan festival musik rock yang muncul saat itu, seperti halnya Woodstock Music and Art Fair 1969, yang kemudian lebih dikenal sebagai Woodstock saja (Frith dalam Lazare [ed],1987 :309)

Perkembangan rock sebagai satu bentuk resistensi terhadap hegemoni kelas dominan yang berkuasa bermula dari wilayah Pantai Barat Amerika (West Coast) pada tahun 1960-an. Counter culture yang lahir dari berbagai kota di wilayah Pantai Barat Amerika merupakan gabungan dari berbagai macam kelompok kultural kelas menengah, seperti hippies, yippies, freaks, heads, flower generation dan gerakan mahasiswa radikal. Budaya yang berkembang muncul secara serempak dalam bentuk demonstrasi dan festival musik rock, seperti yang terjadi pada saat pelaksanaan festival musik Woodstock ’69 pada tanggal 15 Agustus 1969. Festival ini pada mulanya diperkirakan hanya akan dihadiri oleh sebanyak 50.000 orang, namun pada kenyataannya yang hadir dalam festival ini adalah sebanyak 500.000 orang, karenanya Woodstock ’69 dianggap sebagai gerakan terbesar dalam khasanah counter culture (Storey dalam Storey [ed],1994 : 236).

Anggapan bahwa Woodstock merupakan gerakan perlawanan budaya merupakan hal yang tidak berlebihan. Woodstock ’69 merupakan permulaan segala sesuatu yang merupakan awal dari realisasi apa yang dinamakan sebagai sayap politik dalam perlawanan budaya terhadap kelas dominan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa kaum yippies, pada tahun sebelumnya hanya mampu mengorganisir 10.000 pengikutnya untuk melakukan demonstrasi terhadap Democratic Death Convention, sedangkan Woodstock ’69 secara fantastis mampu mewujudkan dirinya sebagai medium perlawanan (resistensi) yang disuarakan oleh 500.000 audiensnya (Storey dalam Storey [ed],1994 : 236). Perlawanan yang ditujukan pada keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam yang banyak memakan korban generasi muda Amerika (Bannet, 2001:1)

Di samping merupakan perwujudan dari counter culture, festival ini dalam sisi lain menunjukan bahwa perluasan dan perkembangan counter culture membuka peluang bagi komersialisasi. Di saat khalayak yang datang di Woodstock 1969 merayakan komunitas counter culture-nya, berbagai perusahaan rekaman merayakan semakin luasnya pasar bagi rekaman yang mereka produksi (Storey dalam Storey [ed], 1994 : 237)

Di samping anggapan bahwa rock merupakan satu bentuk budaya perlawanan, rock juga dipahami sebagai musik yang lahir dari spontanitas, karenanya rock merupakan bagian dari budaya rakyat (folk culture). Pendapat ini muncul di tahun 1960-an ketika rock benar-benar mampu mewujudkan resistensinya, dan memudar saat tahun 1970-an ketika korporasi media mampu mengkooptasi musik rock. Saat itu musisi rock memiliki suatu kepercayaan mengenai komunitas alternatif yang mereka miliki, daripada sekedar industri entertainment semata. Bagi para musisi yang politis, musik telah menjadi alat untuk memobilisasi massa kelas maupun organisasi serta merupakan perwujudan solidaritas (Storey dalam Storey [ed],1994 : 323). Hal ini berpijak dari apa yang dikatakan oleh Chistian Landau, bahwa disaat itu rock diperdengarkan dan dibuat oleh sekumpulan orang yang sama. Rock tidak berasal dari dalam bangunan kantor-kantor di New York di mana orang duduk dan menulis apa yang mereka pikirkan mengenai apa yang ingin didengar khalayak luas. Rock berasal dari pengalaman hidup sehari-hari (everyday life experience) para musisinya dalam interaksinya dengan audiensnya yang seusia dengan mereka. Namun jika spontanitas dan kreativitas tersebut kemudian menjadi lebih distilisasi dan distrukturisasi, maka akan menjadi lebih mudah bagi para pelaku bisnis yang merupakan manipulator di belakang layar untuk menstrukturkan pendekatan mereka dalam menjadikan musik sebagai komoditas (Frith dalam Lazare [ed], 1987 : 311).

Perbedaan antara budaya massa dan budaya rakyat selama ini merupakan wacana yang esensial bagi teori-teori kiri yang berkaitan dengan seni. Oposisi yang dimaksudkan disini adalah antara komunitas versus massa, solidaritas versus alienasi, aktif versus pasif. Argumen yang mendasarinya adalah bahwa budaya rakyat diciptakan secara langsung dari pengalaman komunal masyarakat tertentu. Tidak ada jarak antara artis dengan audiens, dan juga tidak dari perbedaan antara produksi dan konsumsi seni. Basis kultural dari budaya rakyat kemudian dihancurkan oleh tujuan dari relasi dari produksi artistik di bawah sistem kapitalisme. Produk budaya menjadi barang komoditas, diproduksi dan dijual untuk mendapatkan keuntungan dan saling mengalienasikan antara produser dengan khalayak (Frith dalam Lazare [ed], 1987 : 312).
Diskursus mengenai musik rock sebagai budaya massa dan budaya rakyat, selanjutnya juga tidak dapat dilepaskan dengan diskursus mengenai budaya populer (popular culture). Budaya populer sendiri seperti yang telah disinggung di atas merupakan satu konsep yang dapat diwacanakan ke dalam berbagai definisi.

Dalam relasinya dengan budaya massa, budaya populer dianggap sebagai budaya yang diproduksi untuk konsumsi massa serta bersifat manipulatif. Sedangkan sebagai budaya rakyat, budaya populer dianggap sebagai budaya yang berasal dari “rakyat” ( the people) dan ditujukan juga bagi rakyat. Definisi ini tidak terlepas dari romantisme mengenai adanya budaya kelas pekerja (proletariat) yang dikonstruksi sebagai sumber utama untuk melakukan protes terhadap kapitalisme. Permasalahan yang muncul dari pendekatan kedua ini adalah mengenai siapa saja yang memiliki kualifikasi untuk dianggap sebagai rakyat. Kemudian muncul permasalahan lain mengenai sifat dari berbagai sumber dimana budaya dibuat, karena pada kenyataannya budaya tidak dapat diolah secara langsung dari berbagai material yang bersifat mentah bagi diri mereka sendiri. Apapun jenis budaya populer yang ada, termasuk musik rock, tidak dapat melepaskan dirinya dari komersialisasi (Storey,1993 : 12).

Pemikiran selanjutnya mengenai hal perdebatan diatas dapat dianalisis dengan teori hegemoni yang dikemukakan Antonio Gramsci. Gramsci memakai konsep hegemoni untuk menunjukan metode yang dilakukan oleh kelas-kelas dominan dalam masyarakat melalui proses kepemimpinan moral dan intelektual untuk menguasai kelas-kelas yang berada dalam posisi subordinat. Penggunaan pendekatan ini melihat budaya populer sebagai satu lahan pertarungan (site of strunggle) antara kekuatan resistensi dari kelas subordinat terhadap kekuatan kelas – kelas dominan. Teks-teks yang ada dalam wacana budaya populer selalu bergerak ke dalam apa yang dinamakan Gramsci sebagai compromise equilibrium. Dengan kata lain analisa neo-Gramscian melihat bahwa budaya populer juga merupakan pertarungan ideologi antara kelas-kelas dominan dan subordinat serta budaya dominan dan subordinat (Storey, 1993 : 13).

Musik rock memperlihatkan adanya compromise equilibrium seperti ini, dimana musik rock yang lahir secara bottom up akhirnya harus mengalami inkorporasi (incorporation). Namun setelah terjadi inkorporasi ini ternyata masih ada musisi yang secara idealis meyuarakan pemberontakannya. Kaum punk dengan semangat independensi komunitanya di tengah masyarakat kapitalis lanjut misalnya, menyuarakan perlawanan kelasnya dengan slogan “do it yourself” dan tentu saja Rage Against The Machine (RATM) yang bahkan bukan hanya meyuarakan perlawanannya dari atas panggung, namun juga dengan turun dalam aksi demonstrasi di jalan. Bahkan RATM memerankan dirinya sebagai agen perubahan (agen of change) dan sekaligus membuktikan bahwa dibawah pencaplokan perusahaan rekaman besar di bawah naungan sistem kapitalisme, musik masih mampu menjadi agen perubahan. Namun berbeda dengan komunitas punk maupun underground yamg memilih untuk bersikap independen dengan tidak mau berada dalam naungan produksi dan distribusi perusahaan rekaman besar melalui jalur indie label, RATM dalam sisi lain berada dalam pencaplokan industri rekaman besar, yaitu Sony Music Etertainment.

Friday, July 01, 2005

BAGAIMANA BELAJAR KOMUNIKASI MASSA DARI SINI ??


TEMAN-TEMAN MAHASISWA YANG BERBAHAGIA..AGAR LEBIH MUDAH BELAJAR KOMUNIKASI MASSA DARI SINI, SILAHKAN DI PRINT DARI BAWAH...BAHAN KULIAH YANG BERADA DI BAWAH BERARTI ADALAH BAHAN KULIAH YANG HARUS DIPELAJARI DULU, BARU MENGINJAK KE ATAS...MAAF SEKALI MINGGU PERTAMA SEMESTER PENDEK TERPAKSA KOSONG..UNTUK MENGGANTINYA SAYA BUATKAN TULISAN-TULISAN DI SINI..MET BELAJAR..

Thursday, June 30, 2005

BAGAIMANA MENGUTIP SUMBER DARI INTERNET DI DAFTAR PUSTAKA

Untuk mengutip sumber di internet
1. Jika kurang dari 5 baris yang dikutip menjadi satu bagian dengan esai/makalah/paper yang ditulis
2. Kalau 5 baris atau lebih harus dipisah dengan cara : 1 spasi, masuk 1 tab
3. Tulis nama penulis dan tahun akses. Misal ...............................(Junaedi, 2005)
4. Di daftar pustaka ditulis :

Junaedi, Fajar (2005). Judul. Alamat internet, tanggal akses

5. Jika tidak seperti ini dianggap plagiatisme !!

Monday, June 27, 2005

Metode Analisis dalam Komunikasi Massa


Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si
(Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, e-mail/friendster di
my_fajarjun@plasa.com)



Untuk mengkaji isi dan struktur media massa, ada empat metode yang dapat digunakan sebagai alat penelitian, yaitu analisis isi, analisis semiotika, analisis wacana dan analisis framing.

Analisis Isi
Analisis isi (content analysis) dilaksanakan dengan melakukan kuantifikasi terhadap sifat-sifat yang dikandung isi media massa. Analisis isi telah sering dipakai dalam mengkaji pesan-pesan media. Karena metode ini pada dasarnya merupakan sebuah metode untuk menguji secara kuantitatif , keyakinan, kepentingan para editor dan penerbit, kecenderungan pembaca (dengan asumsi bahwa bahan-bahan yang dipublikasikan secara berhasil bagi golongan tertentu, mencerminkan secara akurat kecenderungan golongan yang bersangkutan).
Teknik analisis isi dalam pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai berikut, peneliti memulainya dengan membuat sampel yang sistematis dari isi media. Misalnya jika para peneliti ingin meneliti tayangan kekerasan seksual yang dihadirkan televisi, maka mereka dapat memilih beberapa tayangan prime time berkaitan dengan isu di atas. Kemudian dikembangkan definisi obyektif mengenai “kekerasan seksual”, misalnya scene di mana terjadi kekerasan seksual. Kemudian diklasifikasikan agar sesuai dengan definisi yang telah dibuat dan kemudian dihitung, sehingga peneliti dapat mengetahui adegan kekerasan seksual per jam dan membandingkannya dengan statistik yang dihasilkan penelitian sebelumnya (Gerbner dan Gross dalam Straubhaar dan Larose, 1997 :413). Sedangkan untuk menganalisis koran atau majalah dapat dilakukan dengan mengukur inchi kolom dari berita yang telah dikategorisasi dalam berbagai kategori berdasarkan tujuan penelitian.

Keunggulan analisis isi adalah kemampuannya untuk memberi deskripsi mengenai profil media secara mendetail dan menunjukan trend media dalam waktu tertentu. Namun kelemahannya adalah ketidakmampuannya untuk melihat efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak. Untuk meneliti efek media massa terhadap khalayak, kita harus mengadakan penelitian yang melibatkan khalayak.

Selain itu, dalam penelitian analisis isi, seringkali hanya melihat sampel tayangan yang jumlahnya tidak banyak. Misalnya saat kita akan melakukan penelitian mengenai kekerasan seksual di tayangan televisi, bisa jadi kita hanya mengambil sampel tayangan prime time dari tiga stasiun televisi terbesar di Indonesia. Padahal masih banyak stasiun televisi yang lain, apalagi jika kemudian kita juga mempertimbangkan keberadaan stasiun televisi lokal, maka jumlah tiga stasiun televisi tersebut sangatlah kecil, sehingga apakah hasil penelitian representatif atau tidak menjadi sangat dilematis.

Pembuatan definisi sebelum melakukan riset juga dapat problematis. Misalnya, pada sebuah tayangan komedi ada seorang aktor berkata jorok yang dibumbui kata-kata yang berhubungan dengan seksualitas sembari tertawa dan tersenyum, baik aktor maupun artisnya. Apakah hal ini dapat didefinisikan sebagai kekerasan seksual ? Bagi beberapa orang bisa jadi ini sudah termasuk kekerasan seksual, namun bagi yang lain tidak, karena dengan alasan artisnya saja ikut tertawa.

Semiotika
Semiotika (semiotic) atau yang juga dikenal sebagai semiologi (semiology) telah menjadi alat analisis yang populer untuk meneliti isi dari media massa dan telah banyak digunakan oleh para mahasiswa ilmu komunikasi dalam meneliti makna dari pesan yang termuat dalam media massa. Bagi para ahli semiotika, pesan (massage) dari media massa menjadi bagian terpenting untuk dikaji, dan bagi mereka isi media massa adalah produk dari penggunaan tanda-tanda bahasa (sign). Pendekatan ini berfokus pada cara produsen tanda bahasa (author) membuat tanda bahasa dan cara khalayak memahaminya.

Semiotika memiliki sejarah dengan perkembangan yang cukup panjang dalam abad 21. Bidang ini membantu kita melihat bagaimana tanda-tanda bahasa digunakan untuk menginterpretasi kejadian-kejadian dan dapat menjadi alat analisis yang terutama baik untuk menganalisis kandungan dari pesan media. Nyaris tidak dapat dipungkiri bahwa tanda bahasa memiliki peran istimewa dalam media, dan media dalam banyak cara membentuk bagaimana lambang-lambang berfungsi untuk kita.

Pada mulanya semiotika dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure dan Roland Barthes serta kemudian banyak dikembangkan Jean Baudrillard, salah seorang pemikir posmoderisme yang terkenal.

Menurut Saussure, tanda bahasa (sign) tidak lepas dari beberapa unsur, yaitu pertama, penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah aspek material dari satu tanda bahasa, sedangkan petanda adalah aspek mental dari tanda bahasa. Relasi keduanya bersifat arbiter (arbitrary) atau diada-adakan. Misalnya tidak ada relasi alamiah antara kata kucing (k-u-c-i-n-g) dengan binatang berkaki empat, berbulu, menyusui, suka mengeong dan memiliki cakar yang ditunjukan kata kucing. Kedua, tanda bahasa terstruktur dalam langue dan parole. Langue adalah pemakaian bahasa secara umum dan parole adalah pemakaian tanda bahasa secara oleh individu. Saussure memberi anologi bermain catur untuk menjelaskan hal ini. Kuda dalam catur diatur dalam langue dalam bentuk gerak L, dan para pemain catur bebas memilih untuk bergerak dalam gerakan L ke atas, bawah, kanan ataupun kiri yang menjadi parole yang mereka miliki. Jika bergerak selain L maka kacaulah permainan catur tersebut Aturan yang seperti di atas mengikat tanda bahasa ke dalam suatu struktur, makanya semiotika generasi ini dikenal sebagai peletak dasar strukturalisme yang banyak dikembangkan oleh Louis Althusser dan Jean Claude Levi-Strauss (Bignell, 1997 : 7-10).

Hal lain yang tidak bisa dilepaskan dalam kajian semiotika adalah pemikiran Saussure yang menyatakan bahwa konsep memiliki makna disebabkan karena adanya faktor – faktor relasi, dan dasar dari relasi tersebut adalah berlawanan atau oposisi yang bersifat duaan (binary oposition). Untuk lebih jelasnya kita dapat mengambil ilustrasi sebagai berikut. Konsep “kaya” misalnya, tidak akan memiliki arti apapun jika tidak ada konsep “miskin”. Konsep “cantik” juga tidak memiliki arti apapun jika tidak ada konsep “jelek”. Namun harus dicatat bahwa konsep tidak didefinisikan pada isi positifnya tetapi negatifnya, melalui relasi-relasinya dengan istilah-istilah lain dalam sistemnya (Berger, 2000 : 7).

Dalam kajian semiotika, bukan “isi” yang menentukan makna, tetapi “relasi-relasi” dalam berbagai sistem, seperti yang diutarakan oleh Saussure bahwa sifat yang paling tepat untuk untuk menggambarkan konsep tersebut adalah “ada dalam keberadaannya, sedang yang lain tidak”. Sehingga tidak ada makna pada dirinya sendiri, karena semua terbentuk dari relasi (Saussure dalam Berger 2000 : 7).

Konsepsi yang dikemukakan oleh Saussure ini kemudian dikembangkan oleh Roland Barthes untuk memahami mitos (myth) yang lahir dari tanda bahasa. Mitos lahir melalui konotasi tahap kedua di mana rangkaian tanda yang terkombinasikan sebagaimana dalam film disebut sebagai teks (text) akan membentu pemaknaan tingkat kedua (secondary signification) (Thwaites, 1994 : 67). Ide-ide dari Barthes banyak digunakan untuk memahami realitas budaya media kontemporer yang dikonsumsi oleh manusia setiap harinya (Bignell, 1997:16). Film, lagu, sinetron, novel, majalah dan sebagainya merupakan bagian dari budaya media yang dipenuhi oleh berbagai praktik penandaan (signifying practice), yang dapat dianalisis dari banyak sisi. Film misalnya dapat dianalisis dari berbagai unsur yang ada di dalamnya, yaitu posisi kamera (angle), posisi obyek atau manusia dalam frame, pencahayaan (lighting), proses pewarnaan (tinting) dan suara (sound) (Bignell, 1997:187).

Semua sisi sebagaimana yang tersebut di atas akan menjalin satu kaitan yang dinamakan sebagai intertekstualitas. Intertektualitas melibatkan bahan teks dari banyak ragam yang menjadi hal umum dewasa ini, menjadi budaya dan mencari arah teks baru tanpa disadari oleh pencipta teks bersangkutan (the author) (Berger, 2000 : 26).

Berbagai tanda bahasa yang saling berelasi kemudian akan membentuk teks (text). Istilah “teks” sendiri berasal dari Bahasa Latin texture yang berarti rajutan, sehingga teks dapat diartikan sebagai rajutan dari berbagai tanda bahasa yang melahirkan makna-makna. Makna inilah kemudian melahirkan representasi (representation). Menurut Norman Fairclough, representasi dapat secara ideologis mereproduksi relasi sosial yang mengandung eksploitasi dan dominasi (Burton, 2000 : 171).

Ada beberapa unsur penting dalam representasi yang lahir dari teks media massa. Pertama adalah stereotype yaitu pelabelan terhadap sesuatu yang sering digambarkan secara negatif. Selama ini representasi sering disamakan dengan stereotype, namun sebenarnya representasi jauh lebih kompleks daripada stereotype. Kompleksitas representasi akan terlihat dari unsur-unsurnya yang lain. Kedua adalah identity, yaitu pemahaman kita terhadap kelompok yang direpresentasikan. Pemahaman ini menyangkut siapa mereka, nilai apa yang dianutnya dan bagaimana mereka dilihat oleh orang lain baik dari sudut pandang positif maupun negatif. Ketiga adalah pembedaan (difference), yaitu mengenai pembedaan antarkelompok sosial, di mana satu kelompok dioposisikan dengan kelompok yang lain. Keempat, naturalisasi (naturalization), yaitu strategi representasi yang dirancang untuk mendesain menetapkan difference, dan menjaganya agar kelihatan alami selamanya. Kelima adalah ideologi. Untuk memahami ideologi dalam representasi ada baiknya kita mengingat kembali konsepsi ideologi yang dikemukakan oleh Althusser. Representasi dalam relasinya dengan ideologi dianggap sebagai kendaraan untuk mentransfer ideologi dalam rangka membangun dan memperluas relasi sosial (Burton, 2000 : 170-175).

Jean Baudrillard kemudian mewacanakan semiotika pascastrukturalisme (poststructuralism) yang menyatakan bahwa tanda bahasa telah semakin terpisah dari objek yang mereka wakili dan bahwa media telah mendorong proses ini ke titik dimana tidak ada sesuatu yang nyata. Media tidak secara mendadak menciptakan kondisi ini, namun memperburuk suatu kecenderungan yang telah lama berlangsung sepanjang sejarah modern.

Penggunaan tanda bahasa telah berjalan melalui suatu evolusi dalam masyarakat. Pada mulanya, tanda bahasa adalah representasi yang sifanya sederhana dari suatu objek atau kondisi. Tanda bahasa mempunyai relasi yang jelas dengan yang obyek yang dilambangkannya. Baudrillard menyatakan pentahapan ini sebagai tahapan dari urutan simbolis, umum dalam masyarakat feodal. Pada tahap kedua, kepalsuan, umum dari masa Renaissance ke masa Revolusi Industri, lambang-lambang dianggap kurang memiliki relasi langsung dengan benda-benda dalam kehidupan, yang oleh Baudrillard dinamakan sebagai hiperrealitas.

Analisis Framing
Analisis framing dikembangkan terutama oleh William A. Gamson. Gamson melihat wacana media massa (khususnya berita) terdiri dari sejumlah kemasan (package) melalui mana konstruksi atas suatu peristiwa dibentuk. Kemasan itu merupakan skema atau struktur pemahaman yang dipakai oleh seseorang ketika mengkonstruksi pesan-pesan yang dia sampaikan, dan menafsirkan pesan yang ia terima.

Ada dua perangkat bagaimana ide sentral yang merupakan framing diterjemahkan ke dalam teks berita melalui dua cara. Pertama, framing devices (perangkat framing) yang berelasi langsung dengan ide sentral atau bingkai yang ditekankan dalam teks berita. Perangkat framing ini ditandai dengan pemakaian kata, kalimat, metafora, dan grafik/gambar. Perangkat kedua adalah reasoning devices (perangkat penalaran) yang berhubungan dengan kohesi dan koherensi dari teks tersebut yang merujuk pada gagasan tertentu (Eriyanto, 2004 : 225-226).

Ada beberapa komponen yang menjadi alat analisis dalam analisis framing yang dikembangkan oleh Gamson, yaitu :

Pertama, elemen inti berita (idea element) yaitu ide atau pemikiran yang dikembangkan dalam teks berita itu kemudian didukung dengan simbol tertentu untuk menekankan arti yang hendak dikembangkan dalam teks berita. Simbol itu dapat diamati dari pemakaian kata, kalimat, grafis, atau pemakaian foto atau aksentuasi gambar tertentu.

Semua elemen dalam perangkat pembingkai tersebut digunakan untuk memberi citra tertentu atas seseorang atau peristiwa tertentu. Citra itu juga dilakukan dengan memberi label (depiction) terhadap suatu peristiwa. Citra juga dapat ditekankan dengan melakukan ilustrasi (eksemplaar)

Kedua, perangkat pembingkai (framing devices) dipakai untuk memberi citra negatif maupun positif terhadap suatu berita atau obyek yang diberitakan. Ketiga, perangkat penalaran (reasoning devices). Dapat berupa roots ataupun dengan memberi klaim moral tertentu (appeals to principle). Keduanya berpotensi membawa konsekuensi (consequences) mengenai isu berita.


Analisis Wacana
Michel Foucault adalah salah seorang pemikir Prancis yang memberi banyak kontribusi dalam perkembangan analisis wacana (discourse analysis). Kontribusinya dapat dilacak dari pemikirannya mengenai kuasa (power), sebuah tema yang merupakan topik terpenting dalam khasanah pemikiran Foucault yang kemudian banyak digunakan dalam analisis wacana. Berbagai karya besar Foucault memang berkisar pada subyek kekuasaan. Menurut Foucault, kekuasaan merupakan sesuatu yang inheren sifatnya dari semua formasi diskursif. Misalnya, kekuasaan merupakan fungsi wacana atau ilmu dan bukan sebagai properti manusia atau institusi. Episteme, sebagaimana diekspresikan dalam bahasa, menjamin kekuasaan. Dengan begitu, kekuasaan dan pengetahuan tidak bisa dipisahkan.

Banyak literatur yang sudah ditulis berusaha mengungkap kuasa, namun bagi Foucault sedikit sekali yang berhasil mengurai kuasa. Ada misalnya analisis Marxian yang banyak mengurai mengenai orang-orang yang berkuasa seperti negara, parlemen, institusi agama, namun tidak menyinggung bagaimana mekanisme kuasa atau strategi kuasa. Tema seperti inilah yang menjadi fokus perhatian Foucault. Ia ingin menganalisis strategi kuasa yang faktual. Ia tidak menyajikan suatu metafisika mengenai kuasa, tapi satu mikrofisika tentang kuasa. Maksudnya, masalahnya bukanlah pada apakah itu kuasa, melainkan bagaimana berfungsinya kuasa pada bidang tertentu.

Berikut ini adalah beberapa pendapat Foucault mengenai kuasa. Pertama, kuasa bukanlah milik melainkan strategi. Maksudnya kuasa biasanya disamakan dengan milik. Kuasa dianggap sebagai sesuatu yang dapat diperoleh, disimpan, dibagi, ditambah, dan dikurangi. Tapi dalam pandangan Foucault kuasa tidak dimiliki tapi dipraktekan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berelasi satu sama lain dan senantiasa mengalami pergeseran.

Kedua, kuasa tidak dapat dilokalisasi tetapi ada di mana-mana. Biasanya kuasa dihubungkan dengan orang atau lembaga tertentu, khususnya aparat negara. Tapi menurut Foucault strategi kuasa berlangsung di mana-mana. Di mana saja terdapat susunan, aturan, sistem regulasi, di mana saja ada manusia yang mempunyai relasi tertentu sama lain dan dengan dunia luar, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari luar, tetapi menentukan susunan, aturan-aturan, relasi-relasi itu dari dalam, malah memungkinkan semua itu. Sebagai contoh adalah bahwa setiap masyarakat mengenal berbagai strategi kuasa yang menyangkut kebenaran: beberapa diskursus diterima dan disebarluaskan sebagai benar. Dalam hal ini terdapat institusi-institusi yang menjamin perbedaaan antara yang benar dan tidak benar. Selain itu terdapat pula pelbagai aturan dan prosedur untuk memperoleh dan menyebarkan kebenaran

Secara khusus, Foucault memberi perhatian ada relasi antara kuasa (power) dengan pengetahuan (knowledge). Pengetahuan tidak berasal dari dari salah satu subyek yang mengenal, tetapi dari relasi-relasi kuasa yang menandai subyek itu. Pengetahuan tidak “mencerminkan” relasi kuasa sebagaimana yang selama ini dikenal dalam pemikiran Marxian, pengetahuan tidak merupakan pengungkapan secara samar-samar dari relasi-relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memroduksi pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Lebih lanjut dalam pandangan Foucault tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Pada titik ini terdapat relasi: pengetahuan mengandung kuasa seperti juga kuasa mengandung pengetahuan. Dengan demikian tidak ada pengetahuan yang netral dan murni, karena di dalamnya ada kuasa.

Ketiga, kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan atau represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Selama ini kuasa sering dianggap subyek yang berkuasa (raja, pemerintah, ayah, laki-laki dan kehendak umum) dan subyek itu dianggap melarang, membatasi, menindas dan sebagainya. Menurut pendapat Foucault kuasa tidak bersifat subyektif. Inilah yang membedakannya dengan pandangan marxisme yang melihat kuasa sebagai satu proses dialektis, di mana A menguasai B, kemudian setelah beberapa syarat terpenuhi ganti B menguasai A. Kuasa juga tidak bekerja secara represif dan negatif, melainkan bekerja secara produktif dan positif, karena ada kenyataannya kuasa memproduksi realitas. Kuasa memproduksi realitas dengan memproduksi lingkup obyek dan ritus-ritus kebenaran. Strategi kuasa tidak berjalan melalui jalan penindasan melainkan melalui normalisasi dan regulasi.

Keempat, kuasa tidak bersifat destruktif melainkan produktif. Yang dimaksudkan oleh Foucault disini adalah bahwa kuasa tidak menghancurkan, tetapi malah menghasilkan sesuatu. Hal ini sekaligus meruakan penolakan Foucault terhadap sebagaian pandangan yang menyatakan bahwa kuasa meruakan sesuatu yang jahat dan harus ditolak, karena menolak kuasa sendiri termasuk dari strategi kuasa. Tidak mungkin memilih kawasan di luar kawasan strategi kuasa itu sendiri. Ringkasnya, kuasa produktif karena memungkinkan segala sesuatu dapat dilakukan (Bertens, 2000 : 297 – 325).

Menurut Foucault struktur wacana adalah suatu satuan aturan inheren yang menentukan bentuk dan substansi praktek diskursif. Struktur wacana ini tidak sekedar aturan untuk bagaimana cara berbicara; tetapi juga aturan-aturan yang menentukan sifat pengetahuan, kekuasaan, dan etika. Aturan-aturan ini mengontrol apa yang bisa dibicarakan atau dituliskan dan siapa yang boleh bicara atau menulis (atau pembicara yang harus ditanggapi dengan serius). Aturan-aturan seperti di atas kemudian mampu mengontrol apa yang bisa kita bicarakan atau tuliskan, yang tentu juga menentukan bentuk wacana yang harus dipakai

Berlawanan dengan pendapat yang lebih populer, dalam pandangan Foucault masyarakat tidak bertanggung jawab dalam membuat kondisi wacana. Sebaliknya, wacanalah memerlukan tempat seseorang dalam skema dunia. Struktur diskursif terbaru kita mampu memberi penjelasan mengenai manusia sebagai pondasi dan asal ilmu pengetahuan, tetapi masyarakat tidak pernah mendapatkan kedudukan seperti ini sebelumnya di periode yang lain dan dengan sendirinya akan segera kehilangan kedudukan ini. Di jaman kita, orang diyakini mendapatkan ilmu pengetahuan dan mempunyai kekuasaan, tetapi ide ini merupakan penciptaan bentuk diskursif yang pra dominan di jaman kita, dan aturan-aturan berekspresi dalam komunikasi kita mempunyai ide seperti ini. Di lain waktu, seluruh ide-ide yang berbeda tentang pengetahuan dan kekuasaan muncul dari penggunaan wacana.

Penelitian Foucault tentang sistem hukum dalam karyanya The Birth of Prison, dapat digunakan sebagai contoh mengenai analisis wacana. Dia menemukan adanya perbedaan yang sangat dramatis di abad 18 dan 19 dari kekejaman dan hukuman publik menjadi pemahaman dan perlindungan kriminal dari penyiksaan tubuh. Sebelum masa sekarang, narapidana disiksa atau atau bahkan dieksekusi di depan publik dan bahkan seringkali oleh publik sendiri dan dijadikan sebagai bentuk tontonan. Dalam formasi diskursif saat itu orang/kriminal dilihat sebagai obyek sentral dalam hubungan politis. Sangat alami bahwa kekuasaan seharusnya digunakan untuk melawan orang/kriminal dan bahwa hukuman seharusnya mencakup kesakitan tubuh. Tetapi kemudian dalam formasi diskursif yang ada di masa sekarang, orang/kriminal kehilangan statusnya, karena kekuasaan lebih menjadi persoalan fisik atau jiwa individu manusianya. Dengan begitu menahan kriminal dilihat sebagai hukuman yang lebih sesuai daripada mencambuk mereka di depan publik.

Studi yang dikerjakan oleh Foucault berkisar pada analisis wacana yang memiliki fungsi untuk melakukan pengungkapan terhadap aturan-aturan dan struktur wacana. Studi ini oleh Foucault dinamakan archaelogy. Archaelogy berusaha mengungkap berbagai aturan-aturan wacana dengan melewati deskripsi yang seksama. Studi ini menunjukkan perbedaan atau kontradiksi, daripada adanya koherensi, dan mengungkap tentang suksesi dari satu bentuk wacana ke wacana yang lain. Untuk alasan inilah Foucault menitikberatkan deskripsi komparatif lebih dari satu buah wacana.

Interpretasi, atau pemaknaan teks, tidak bisa dihindari dalam analisis teks, tapi pemaknaan itu seharusnya diminimalisir kerena interpretasi tidak membuka struktur diskursif dan pada kenyataannya malah mengaburkannya. Foucault berpandangan bahwa seorang analis sudah seharusnya menghindari untuk merelasikan wacana dengan pengarang/penulis karena penulis dalam wacana yang muncul hanya menjalankan fungsi wacana semata dan bukan merupakan instrumen di setiap cara yang fundamental di dalam pembuatan struktur teks yang mereka hasilkan. Sehingga, wacana sering dimengerti sebagai bahasa yang digunakan dalam merepresentasikan praktik sosial dari sudut pandang tertentu. Dalam memahami wacana, kita juga tidak bisa lepas dari konsep ideologi karena setiap makna dari wacana selalu bersifat ideologis (Fairclough dalam Burton, 2000 : 31).

Teori Medium


Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si
(Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, e-mail/friendster di
my_fajarjun@plasa.com)

Marshall McLuhan merupakan teoritisi yang paling berpengaruh dalam kajian mengenai pentingnya media dalam peradaban kehidupan manusia. Ia dikenal secara luasa dalam studi kebudayaan populer (popular culture), selain itu ia mendapat perhatian karena pemikiran-pemikirannya brilian mengenai kemajuan komunikasi massa kontemporer. Meskipun keistemewaan teori yang diutarakan oleh McLuhan dalam kajian komununikasi massa dewasa ini tidak lagi menjadi acuan, tesis yang dikemukakannya umumnya telah mendapat pengakuan yang sangat luas serta masih relevan digunakan sebagai alat analisis dalam memahami komunikasi massa. Menurutnya media terpisah dari apapun kandungan yang disebarkan, mempengaruhi individu-individu dalam masyarakat, atau yang kemudian lazim dinamakan sebagai teori medium (Littlejohn, 1996 : 326).

McLuhan bukanlah peneliti komunikasi massa yang pertama menulis tentang pemikiran ini. Malahan, ide-idenya yang saat ini banyak dirujuk dalam kajian komunikasi massa, sangat dipengaruhi oleh pemikiran dari Harold Adams Innis. Innis menyatakan bahwa media komunikasi adalah intisari dari peradaban dan bahwa jalannya roda sejarah adalah diarahkan oleh media dominan pada tiap masa (Littlejohn, 1996 : 326). Sebelum muncul MTV misalnya, para artis yang ingin tenar di seluruh jagad hanya cukup membuat rekaman, tampil di konser dan sering muncul di pemberitaan, namun setelah MTV semakin menglobal, para artis harus membuat video klip yang diputar terus menerus di MTV agar menjadi terkenal. Tanpa menjadi bagian MTV mustahil rasanya untuk dapat meraih ketenaran.

Bagi McLuhan dan Innis, media adalah perpanjangan dari pikiran manusia, sehingga kepentingan utama dari periode sejarah manapun ditentukan oleh media dominan yang digunakan. Dengan kata lain, apa yang terjadi dan apa yang mungkin berpengaruh dalam periode sejarah ditentukan oleh media (Littlejohn, 1996 : 326). Media dianalogikan sebagai berikut : berat seperti gerabah, liat ataupun batu adalah berlanjut dan maka dari itu terikat waktu. Karena mereka memfasilitasi komunikasi dari satu generasi ke generasi lainnya, media ini dipengaruhi oleh tradisi. Sebaliknya, media terikat tempat seperti kertas adalah ringan dan mudah untuk dipindahkan, sehingga media mampu memfasilitasi komunikasi dari satu tempat ke tempat lain.

Sebelum mesin cetak ditemukan oleh Johannes Guttenberg di abad pertengahan, masyarakat lebih menekankan pada komunikasi yang berorientasi pada indra pendengaran, yang dekat secara emosional dan interpersonal. Bagi masyarakat suku-suku tradisional prinsip “mendengar adalah mempercayai” lebih ditekankan dalam kehidupan mereka. Namun penemuan mesin cetak mengubah semua itu. Abad Gutenberg membawa rasio pemikiran, yang didominasi oleh indra penglihatan. Timbulnya percetakan, yang terutama terjadi secara massif dalam khasanah budaya Barat, memaksa individu untuki lebih menekankan kepada persepsi yang sifatnya linier, logis, kategoris bukan lagi emosional dan interpersonal.

Teknologi elektronika telah membawa kembali suatu dominasi aural atau pendengaran. Teknologi percetakan Gutenberg menciptakan ledakan dalam masyarakat, memisahkan dan mensegmentasi individu dari masyarakat, namun abad elektronik telah membuat penyatuan kembali, menyatukan dunia kembali satu dalam “perkampungan global”. Hasilnya, “teknologi komunikasi baru memaksa kita untuk meninjau ulang dan mengevaluasi ulang semua pemikiran, semua tindakan, dan semua lembaga yang sebelumnya diabaikan. Jika kalau McLuhan saat ini masih hidup, apakah yang mungkin dapat ia katakan tentang internet yang saat ini menggurita baik di perkantoran, kampus, rumah pribadi ataupun warnet ?

Donald Ellis membuat suatu ringkasan dari berbagai pandangan mengenai teori medium dan serempak ia juga membuat satu proposisi menarik yang mampu mewakili cara pandang kontemporer mengenai subjek kajian ini. Dengan mengamini Innis dan McLuhan, Ellis menyatakan bahwa keberadaan media dominan pada waktu tertentu akan membentuk perilaku dan pemikiran masyarakat bersangkutan. Sejalan dengan berubahnya media, begitu juga cara kita berpikir, mengolah informasi, dan menghubungkan satu dengan yang lain. Ada perbedaan yang tajam dalam perubahan sosial dalam masyarakat yang disebabkan oleh bagaimana masyarakat memilih cara komunikasi tertentu melalui media oral, tertulis atau elektronik.

Komunikasi oral yang bersifat verbal memiliki keunikan yaitu sangat mengesankan dan organik. Pesan oral secara cepat dan berlangsung singkat, sehingga individu-individu dan kelompok harus menyimpan informasi di alam pikiran mereka dan meneruskannya melalui pembicaraan. Karena pengalaman sehari-hari tidak dapat benar-benar dipisahkan dari transmisi media oral, kehidupan dan pengetahuan tidak dapat dipisahkan. Penceritaan dan penceritaan kembali cerita naratif bebas terhadap waktu sebagai suatu bentuk komunikasi memerlukan memori kelompok sebagai “penyimpan” pengetahuan masyarakat. Ini dapat membawa kepada kesadaran kolektif dimana pembedaan yang kecil dibuat antara diri sendiri dan kelompok. Pengidentitasan kelompok dan keterikatan menjadi tinggi ketika media oral mendominasi.

Perubahan besar gelombang ketiga terjadi ketika media elektronik berhasil ditemukan dan dikembangkan secara revolusioner. Perubahan besar ini dapat diuraikan sebagai berikut, media elektronik adalah sesuatu yang seperti oralitas di mana ia juga cepat dan berlangsung singkat, namun ia tidak terikat pada tempat khusus karena ia dapat disiarkan. Inilah yang selanjutnya menjadi keunikan media elektronik karena media ini mampu memadukan komunikasi oral dan komunikasi tulisan. Media elektronik memperpanjang persepsi kita melebihi tempat kita pada waktu tertentu, menciptakan “perkampungan global” (global village). Pada waktu yang sama, seperti media cetak, media elektronik memungkinkan penyimpanan informasi. Karena ia lebih siap pakai daripada media cetak, media elektronik menciptakan ledakan informasi, dan kompetisi yang sangat besar terjadi antar berbagai media untuk didengar dan dilihat. Informasi dalam media elektronik adalah solid seperti komoditas, yang menciptakan tekanan pada informasi agar menarik. Pengetahuan dalam abad media elektronik berubah sangat cepat, dan kita, terutama yang menjadi public figure, menjadi semakin waspada terhadap beragam versi yang berbeda dari suatu realitas tertentu. Perubahan yang konstan yang diciptakan dari media elektronik dapat membuat kita menjadi bingung dan mungkin tidak tenang. Berita artis ditayangan infotainment yang banyak disiarkan oleh berbagai stasiun televisi di Indonesia dapat menunjukan fenomena ini. Para artis yang diliput di acara infotainment saling menyangkal isu miring yang menerpa mereka, bahkan mereka pun kemudian merasa privasi mereka terganggu oleh kru infotainment yang memburunya, seperti yang terjadi pada Parto, seorang anggota grup lawak terkenal Patrio, yang menembakan pistol ke udara karena merasa terganggu oleh kru infotainemt di bulan Agustus tahun 2004.

Jika oralitas menciptakan suatu kebudayaan komunitas dan peradaban tulisan menciptakan kebudayaan kelas, maka komunikasi elektronik menciptakan suatu kebudayaan “sel,” atau kelompok-kelompok yang saling diadu untuk meningkatkan ketertarikan khusus mereka. Suatu bentuk publik baru yang tidak terikat tempat tercipta. Politik kepentingan mendominasi, dan demokrasi, bersama dengan nilai-nilai kesopanan dari pengikutnya, menganggap sesuatu yang penting sebagai suatu cara untuk mengolah perbedaan. Tapi, ironisnya, kompetisi dan ekonomi berbasis komoditas yang datang seiring perkembangan media elektronik melawan nilai-nilai yang sama yang paling dibutuhkan di lingkungan ini yaitu kesopanan dan saling menghargai. Munculnya beragam demo mengecam pornografi di media televisi menjelang bulan Ramadhan tahun 2004, seperti acara komedi Nah Ini Dia yang ditayangkan SCTV, Layar Tancap yang ditayangkan Lativi setiap malam minggu, dialog tengah malam yang acap diwarnai tema seks secara vulgar dan sebagainya, menandai beradunya nilai-nilai baru yang dibawa media elektronik dengan norma kesopanan dalam alam dunia Timur.

Jika kita merupakan anggota dari budaya yang didominasi oral, maka perbedaan yang ada dalam masyarakat dapat terminimalisir, dan keputusan akan diambil secara bersama melalui konsensus dengan berdasar pada kebijaksanaan (wisdom) tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Berbeda sekali jika kita merupakan anggota dari suatu masyarakat yang budayanya lebih berorientasi pada media cetak, maka keputusan terhadap masalah yang terjadi dalam masyarakat akan banyak dipengaruhi oleh “kenyataan” yang tersimpan dalam dokumen, dan kelas-kelas tertentu dalam masyarakat yang mempunyai akses ke informasi akan memegang pengaruh yang besar di dalam pembuatan keputusan masyarakat. Berbeda lagi tatkala kita diandaikan sebagai anggota masyarakat yang kebudayaannya banyak bertumpu pada media elektronik di mana kita mengidentitaskan dengan kelompok-kelompok kepentingan yang bersaing satu sama lain. Dalam kondisi sepeti ini kita memperoleh beragam suara, menyatukannya dengan cara yang sama, dan membuat suatu bentuk keputusan berkaitan masalah bersama dengan mengakomodir sebanyak mungkin kepentingan.

Teori Hasil Kebudayaan


Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si
(Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
e-mail/friendster di my_fajarjun@plasa.com)

Teori-teori komunikasi massa yang berelasi dengan hasil kebudayaan (theories of cultural outcomes) banyak tumbuh dan berkembang dalam kajian komunikasi massa yang ada di Amerika Serikat. Secara garis besar teori-teori yang ada di ranah ini dibagi menjadi dua bagian yaitu yang berfokus pada hasil-hasil kebudayaan umum dan yang berfokus pada pengaruh terhadap inidividu. Untuk mengawalinya, kita akan masuk dari dari kajian mengenai model dan fungsi komunikasi massa yang dikemukakan oleh Harold Laswell.

Selama ini teori media berkonsentrasi pada bagaimana media bekerja dan pengaruh media terhadap khalayak. Dasar dari perspektif ini adalah pendekatan fungsionalis yang memfokuskan pada sistem komunikasi massa, cara kerja sistem komunikasi massa, dan apa yang dilakukan oleh komunikasi massa.

Salah seorang teoritisi yang mengungkapkan teori yang paling terkenal dan paling awal dalam kajian ini adalah Harold Lasswell. Dalam sebuah artikel klasik yang ditulisnya pada tahun 1948 yang berjudul The Structure and Function of Communication in Society, Lasswell menyajikan suatu model komunikasi yang berbentuk sederhana. Model ini sering diajarkan kepada mahasiswa yang baru belajar ilmu komunikasi. Menurut Lasswell komunikasi dapat didefinisikan sebagai :
Siapa (who)
Bicara apa (says what)
Pada saluran mana (in which channel)
Kepada siapa (to whom)
Dengan pengaruh apa (with what effect)

Model yang diutarakan Lasswell ini secara jelas mengelompokkan elemen-elemen mendasar dari komunikasi ke dalam lima elemen yang tidak bisa dihilangkan salah satunya (Laswell dalam Littlejohn, 1996:334). Model yang dikembangkan oleh Laswell ini sangat populer di kalangan ilmuan komunikasi, dan kebanyakan mahasiswa komunikasi ketika pertama kali belajar ilmu komunikasi, akan diperkenalkan dengan model di atas.

Sumbangan pemikiran Lasswel dalam kajian teori komunikasi massa adalah identifikasi yang dilakukannya terhadap tiga fungsi dari komunikasi massa. Pertama adalah kemampuan kemampuan media massa memberikan informasi yang berkaitan dengan lingkungan di sekitar kita, yang dinamakannya sebagai surveillance. Kedua, adalah kemampuan media massa memberikan berbagai pilihan dan alternatif dalam penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat, yang dinamakanya sebagai fungsi correlation. Ketiga adalah fungsi media massa dalam mensosialisasikan nilai-nilai tertentu kepada masyarakat, yang dalam terminologi Laswell dinamakan sebagai transmission (Shoemaker dan Resse, 1991 : 28-29). Dalam perkembangannya, Charles Wright menambahkan fungsi keempat yaitu entertainment, di mana komunikasi massa dipercaya dapat memberi pemenuhan hiburan bagi para konsumen dengan dikontrol oleh para produsen (Shoemaker dan Resse, 1991 : 28).

Model Lasswell telah menjadi model komunikasi massa yang melegenda dalam kajian teori komunikasi massa. Maksudnya model Laswell telah banyak digunakan sebagai kerangka analisis dalam kajian komunikasi massa. Karakteristik model Laswell adalah kemampuannya mencatat bagian-bagian yang membentuk sistem komunikasi massa dan serempak pula dapat menggambarkan hasil-hasil yang hendak dicapai oleh komunikasi massa melalui ketiga fungsi yang telah dijelaskan di atas. Sejak awal buku ini, banyak fungsi dari komunikasi massa yang telah singgung. Agar lebih jelas kita akan melihat pada beberapa di antara fungsi komunikasi massa secara lebih mendalam melalui berbagai teori dalam pembahasan berikut. Kita mengawalinya dari bagian tentang teori mengenai difusi informasi dan pengaruh.

Difusi Informasi dan Pengaruh
Riset yang melahirkan teori difusi dan pengaruh dilakukan pada tahun 1940 oleh Paul Lazarsfeld terhadap masyarakat kota New York. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lazarsfeld menunjukan bahwa pengaruh yang ditimbulkan oleh komunikasi massa dipengaruhi juga oleh faktor lain yaitu oleh komunikasi antar personal. Lazarsfeld menamainya sebagai two-step flow hipotesis. Teori ini masih mempunyai pengaruh yang sangat besar mengenai studi komunikasi massa, terutama terhadap studi mengenai khalayak.

Pada studi awalnya Lazarsfeld menemukan bahwa informasi dan pengaruh dari media massa disebarluaskan oleh para penentu opini kepada khalayak luas, setelah mereka menerima informasi dari media, sehingga isi pesan media tidak serta merta tersebar dan apalagi menjadi opini publik di dalam khalayak luas.

Teori two-step flow terangkum dalam karya Elihu Katz dan Paul Lazarsfeld “Personal Influence”. Mereka berdua menyatakan bahwa individu tertentu yang disebut sebagai penentu opini (opinion leader) menerima informasi dari media dan menyalurkannya kepada teman mereka. Penentu opini adalah dalam semua kelompok : pekerjaan, sosial, masyarakat dan lainnya. Individual ini sulit dibedakan dari anggota kelompok lain karena kepemimpinan opini bukan merupakan pemberian namun merupakan peran yang diambil oleh beberapa individu dalam keadaan tertentu. Kepemimpinan pendapat berubah dari waktu ke waktu dari isu ke isu.

Penentu opini dalam pandangan mereka dapat terdiri dari dua bentuk yaitu penentu opini yang hanya memiliki pengaruh pada satu topik saja, atau monomorhism, dan mereka yang berpengaruh pada bermacam topik atau polymorhism. Monomorphism menjadi lebih dominan ketika sistem komunikasi yang berlaku sifatnya menjadi lebih modern. Seorang kepala desa tentu memiliki pengaruh terhadap beragam topik, sedangkan seorang sarjana pertanian akan memiliki pengarh terhadap isu yang berkaitan dengan pertanian, seperti penyakit tanaman, hama tanaman, cara pemupukan yang benar dan sebagainya.

Riset lanjutan yang dikerjakan oleh Lazarsfeld telah memperlihatkan bahwa penyebaran ide adalah bukan merupakan proses dua langkah yang sederhana. Suatu model multi-langkah (multistep flow) sekarang lebih banyak diterima secara umum. Model ini serupa dengan model hipotesis dua-langkah (two step flow), tapi memberi lebih banyak kemungkinan daripada hipotesis dua langkah. Penelitian yang telah dilakukan telah memperlihatkan bahwa jumlah yang terbesar dari penyaluran antara media dan penerima terakhir adalah suatu variabel. Dalam adopsi inovasi ini, misalnya, individu tertentu akan mendengar tentangnya langsung dari sumber media, sedangkan lainnya mungkin akan berkurang banyak tahapan.

Teori difusi yang paling terkemuka dikemukakan oleh Everett Rogers dan para koleganya. Rogers menyajikan deksripsi yang menarik mengenai mengenai penyebaran dengan proses perubahan sosial, di mana terdiri dari penemuan, difusi (atau komunikasi), dan konsekwensi-konsekwensi. Perubahan seperti di atas dapat terjadi secara internal dari dalam kelompok atau secara eksternal melalui kontak dengan agen-agen perubahan dari dunia luar. Kontak mungkin terjadi secara spontan atau dari ketidaksengajaan, atau hasil dari rencana bagian dari agen-agen luar dalam waktu yang bervariasi, bisa pendek, namun seringkali memakan waktu lama.

Dalam difusi inovasi ini, satu ide mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dapat tersebar. Rogers menyatakan bahwa pada realisasinya, satu tujuan dari penelitian difusi adalah untuk menemukan sarana guna memperpendek keterlambatan ini. Setelah terselenggara, suatu inovasi akan mempunyai konsekuensi konsekuensi – mungkin mereka berfungsi atau tidak, langsung atau tidak langsung, nyata atau laten (Rogers dalam Littlejohn, 1996 : 336).

Opini Publik dan Gelombang Kebisuan (Public Opinion and the Spiral of Silence)
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono meletakan jabatan di penghujung kekuasaan Presiden Megawati, media massa ramai-ramai memberitakan mengenai peristiwa tersebut. Banyak media massa yang juga mengekspos perseteruan Susilo Bambang Yudhoyono dan Taufik Kiemas, suami presiden. Media menggambarkan Susilo Bambang Yodhoyono sebagai orang teraniaya, dan timbulah opini publik yang menyudutkan Megawati. Opini ini semakin meluas karena media massa mem-blow up secara besar-besaran. Suara pendukung Megawati yang membela kebijakannya semakin lama semakin tenggelam karena porsi yang diberikan media massa kepada mereka juga semakin mengecil. Dari realitas di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi massa memiliki banyak hubungan dengan pembentukan opini publik.

Wacana mengenai opini publik telah menjadi pertimbangan yang besar dalam pengambilan keputusan politik yang diambil oleh para elit politik. Teori yang dikemukakan oleh Elisabeth Noelle-Newman mengenai gelombang kebisuan merupakan pengembangan dari teori mengenai opini publik dengan melanjutkan analisis yang mampu menunjukan bagaimana komunikasi antar personal dan media bekerja bersama-sama dalam membangun opini publik. Asumsi dasar yang dikemukakan oleh Noelle-Newman adalah bahwa orang-orang pada umumnya secara alamiah memiliki rasa takut terkucil. Dan dalam pengungkapan opini, mereka berusaha menyatu dengan mengikuti opini mayoritas atau konsensus. Sumber konsensus utama adalah media massa, dan akibatnya para jurnalis yang mungkin memiliki pengaruh cukup besar untuk melakukan penetapan mengenai apa yang dipandang sebagai “iklim opini” yang berlaku pada saat tertentu dalam isu tertentu atau yang lebih luas.

Noelle-Newman sebenarnya adalah peneliti politik Jerman. Ia mengadakan observasi dalam pemilihan umum yang memperlihatkan adanya beberapa pandangan nampaknya lebih berjalan baik daripada pandangan yang lainnya. Kadang-kadang sebagian publik lebih memilih untuk diam saja atau membisu mengenai opini yang ada dalam pikiran mereka daripada memperbincangkannya. Jika opini umum dari media massa semakin tersebar dan meluas di masyarakat, maka semakin senyap suara perseorangan yang berlawanan dengan pendapat umum yang lebih dominan. Noelle-Newmann kemudian menyebut proses ini sebagai gelombang kebisuan. Penelitian yang dilakukannya berkaitan dengan kondisi di Jerman di tahun 1960 sampai dengan 1970-an, di mana Partai Demokrasi Sosial berkuasa pada saat itu. Kekuasaan partai ini tidak lepas dari peran media massa yang cenderung kekiri-kirian di masa itu, sejalan dengan ideologi Partai Demokrasi Sosial. Peran media massa yang seperti ini mampu menciptakan gelombang kebisuan di dalam khalayak yang tidak menyukai Partai Demokrasi Sosial. Yang tersisa hanyalah suara publik yang mendukung kebijakan Partai Sosial Demokrat (McQuail, 1996 : 252).

Cultivation Analysis
Program penelitian teoritis lain yang berhubungan dengan hasil sosiokultural komunikasi massa dilakukan George Garbner dan teman-temannya. Peneliti ini percaya bahwa karena televisi adalah pengalaman bersama dari semua orang, dan mempunyai pengaruh memberikan jalan bersama dalam memandang dunia. Televisi adalah bagian yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari kita. Dramanya, iklannya, beritanya, dan acara lain membawa dunia yang relatif koheren dari kesan umum dan mengirimkan pesan ke setiap rumah. Televisi mengolah dari awal kelahiran predisposisi yang sama dan pilihan yang biasa diperoleh dari sumber primer lainnya. Hambatan sejarah yang turun temurun yaitu melek huruf dan mobilitas teratasi dengan keberadaan televisi. Televisi telah menjadi sumber umum utama dari sosialisasi dan informasi sehari-hari (kebanyakan dalam bentuk hiburan) dari populasi heterogen yang lainnya. Pola berulang dari pesan-pesan dan kesan yang diproduksi massal dari televisi membentuk arus utama dari lingkungan simbolis umum.

Garbner menamakan proses ini sebagai cultivation (kultivasi), karena televisi dipercaya dapat berperan sebagai agen penghomogen dalam kebudayaan. Teori kultivasi sangat menonjol dalam kajian mengenai dampak media televisi terhadap khalayak. Bagi Gerbner, dibandingkan media massa yang lain, televisi telah mendapatkan tempat yang sedemikian signifikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga mendominasi “lingkungan simbolik” kita, dengan cara menggantikan pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia lainnya (McQuail, 1996 : 254).

Ada beberapa tahap riset yang dilakukan untuk meneliti mengenai agresi sebagai efek komunikasi massa. Di Amerika Serikat semenjak tahun 1950-an telah ada usaha untuk dilakukan untuk meneliti hubungan antara adegan kekerasan yang ditonton oleh khalayak dengan perilaku agresi. Riset yang dilakuakn ini mayoritas lahir disebabkan oleh karena ada kecemasan akibat semakin meningkatnya proporsi adegan kekerasan dalam televisi. Sebagai bukti tingginya tayangan kekerasan di televisi diperlihatkan dengan hasil riset analisis isi yang dilakukan George Gerbner di tahun 1978 yang menunjukan 80 sampai dengan 90 persen adegan yang ada dalam program televisi di Amerika Serikat berisi adegan kekerasan (Rakhmat, 1999 : 234).

Menurut Baron dan Byrne terdapat tiga fase riset mengenai kultivasi. Pertama adalah fase Bobo Doll, kedua adalah fase penelitian laboratorium dan ketiga adalah fase riset lapangan (Baron dan Byrne dalam Rakhmat, 1999 : 234). Fase pertama dirintis oleh Bandura dan kawan-kawannya yang mencoba meneliti apakah anak-anak yang melihat orang dewas melakukan tindakan agresi juga akan melakukan agresi sebagaimana yang mereka lihat. Seratus anak-anak setingkat taman kanak-kanak dibagi ke dalam empat kelompok, dengan treatment yang berbeda. Satu kelompok pertama melihat seorang dewasa menyerang boneka balon Bobo Doll sambil berteriak garang, “Hantam! Sikat hidungnya!”. Kelompok kedua dari anak-anak tersebut melihat tindakan yang sama dalam film berwarna pada pesawat televisi. Kelompok ketiga juga melihat adegan film televisi, namun yang tidak menampilkan adegan kekerasan. kelompok terakhir, sama sekali tidak diberi akses menonton adegan kekerasan sama sekali. Setelah treatment tersebut setiap anak diberikan waktu untuk bermain selama 20 menit sembari diamati melalui kaca yang tembus pandang. Di ruangan bermain disediakan Bobo Doll dan alat-alat permainan lainnya, dan terbukti kelompok pertama dan kedua melakukan tindakan agresif, sebanayk 80 – 90 persen dari jumlah kelompok tersebut.

Fase kedua penelitian kultivasi yang mencoba mengganti obyek perilaku agresif secara lebih realitis, yaitu bukan lagi boneka plastik melainkan manusia. Adegan kekerasan diambilkan dari film-film yang dilihat para remaja yaitu film serial televisi The Untouchtables. Liebert dan Baron, yang melakukan penelitian generasi kedua ini di tahun 1972, membagi para remaja menjadi dua kelompok yaitu kelompok pertama melihat film The Untouchtables yang berisi beragam adegan kekerasan, dan yang kedua melihat adegan menarik dari televisi tapi tidak dibumbui adegan kekersan sama sekali. Kemudian mereka diberi kesempatan untuk menekan tombol merah yang dikatakan dapat menyakiti remaja yang berada di ruangan lain. ternyata kelompok pertama lebih banyak dan lebih lama menekana tombol merah daripada kelompok kedua.

Fase ketiga dilakukan Layens dan kawan-kawan di Belgia tahun 1975. Perilaku agresif diamati pada situasi ilmiah bukan di laboratorium dan dengan jangka waktu yang lama. kegiatan obyek yang diteliti juga tidak diganggu sama sekali. Mereka dibagi kedalam dua kelompok, di mana kelompok pertama menonton lima film berisi adegan kekerasan selama seminggu dan kelompok kedua menonton lima film tanpa adegan kekerasan. Selama seminggu itu pula perilaku mereka diamati secara intens, dan ternyata kelompok pertama lebih sering melakukan adegan kekerasan (Rakhmat, 1999 : 243 – 245).

Agenda Setting
Masyarakat yang terpelajar telah lama mengetahui bahwa media mempunyai potensi untuk membangun wacana untuk publik. Salah satu dari penulis pertama yang memformulasi ide ini adalah Walter Lippman, seorang wartawan Amerika yang memiliki reputasi tinggi. Lippmann dikenal untuk penulisan jurnalistiknya, pidatonya, dan komentar sosialnya. Lippman menyatakan pandangan bahwa respon publik tidak kepada kejadian yang sebenarnya dalam lingkungan, melainkan “menggambarkan di dalam kepala,” yang dia sebut sebagai pseudoenvironment (Lippman dalam Littlejohn., 1996 : 341).

Fungsi agenda setting dikemukakan oleh Donald Shaw, Maxwell McCombs, dan teman-teman mereka. Menurut mereka:
Bukti-bukti yang penting telah terakumulasi bahwa editor dan penyiar memegang peran yang sangat penting dalam membentuk kenyataan sosial kita ketika mereka menjalani tugas sehari-hari dalam memilih dan menampilkan berita. Pengaruh media massa ini –kemampuan untuk memberi pengaruh perubahan secara kognitif, untuk membentuk pemikiran mereka- telah diberi label sebagai fungsi penetapan agenda dari komunikasi massa. Di sini mungkin terletak pengaruh yang paling penting dari komunikasi massa, kemampuannya untuk secara mental mengurutkan dan mengorganisir dunia untuk kita. Sigkatnya, media massa mungkin tidak akan berhasil dalam menceritakan kepada kita apa pikiran kita, namun mereka secara besar-besaran berhasil dalam memberi tahu kita apa pikirkan (Shaw dan McCombs dalam Littlejohn, 1996 : 341).

Agenda setting yang kedua adalah proses linier tiga-bagian. Pertama, prioritas dari isu yang akan dibahas dalam media, atau yang dikenal sebagai agenda media, harus ditetapkan. Kedua, agenda media dalam beberapa cara mempengaruhi atau berinteraksi dengan apa yang publik pikirkan, atau agenda publik. Akhirnya ketiga, agenda publik mempengaruhi atau berinteraksi dalam beberapa cara dengan para pembuat keputusan politik yang dianggap penting, atau agenda politik. Dalam teori yang paling sederhana dan paling langsung, kemudian, agenda media mempengaruhi agenda publik, dan agenda publik mempengaruhi agenda politik. Kejadian di sepanjang akhir kekuasan Orde Baru menjadi bukti yang nyata dari fungsi ini. Tatkala harga-harga kebutuhan pokok semakin melejit dan nilai tukar rupiah merosot, media massa ramai-ramai memberitakan kejadian ini. Sebagai akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah saat itu juga semakin menipis dan mengakibatkan pemerintahan jatuh.

Meskipun sejumlah studi memperlihatkan bahwa media dapat secara kuat mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi agenda publik, namun ternyata masih belum jelas apakah agenda publik sendiri tidak mempengaruhi agenda media. Hubungan ini bisa jadi dikarenakan lebih sebagai salah satu dari hubungan sebab akibat timbal balik daripada hubungan sebab akibat linier (searah). Lebih jauh lagi, sepertinya kejadian aktual mempunyai pengaruh kepada keduanya, baik agenda media dan agenda publik.
Setidaknya terdapat tiga macam pengaruh penetapan agenda. Pertama adalah derajat seberapa media merefleksikan agenda publik, disebut sebagai representasi. Dalam agenda representasi, publik mempengaruhi media. Kedua, adalah dipertahankannya agenda yang sama oleh publik di semua waktu, yang disebut persistence. Dalam agenda publik persisten, media mungkin memiliki pengaruh yang kecil. Ketiga, terjadi ketika agenda media mempengaruhi agenda publik, disebut sebagai persuasi. Pengaruh jenis yang ketiga di mana media mempengaruhi publik adalah tepat seperti yang diprediksi oleh teori agenda setting (McQuail, 2002 : 456). Ada sebuah pertanyaan mendasar yang menarik untuk dijawab, yaitu siapa yang pada mulanya mempengaruhi agenda media?

Media Massa sebagai Institusi Sosial

Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si
(Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, e-mail/friendster di
my_fajarjun@plasa.com)

Media massa dipahami sebagai lebih dari sekedar suatu mekanisme yang sederhana sifatnya yang digunakan untuk menyebarkan informasi, karena media massa merupakan suatu organisasi yang terdiri dari susunan yang sangat kompleks dan lembaga sosial yang penting dari masyarakat. Teori besar (grand theory) yang paling terkemuka untuk menyinggung aspek institusional dari media adalah teori kritis marxis. Teori kritis berhubungan dengan distribusi kekuasaan dalam masyarakat dan dominasi kepentingan tertentu terhadap lainnya. Jelasnya, media massa dalam pendekatan teori kritis marxis dipahami sebagai pemain yang mempunyai kekuatan pengaruh yang sangat besar dalam pertarungan ideologis. Media massa dapat dipahami dalam berbagai artikulasi, salah satunya media massa dipahami sebagai arena pertarungan (site of strunggle) dari berbagai kepentingan dan ideologi yang hidup di masyarakat.

Ideologi yang keberadaannya telah menjadi ideologi yang dominan pun dapat dipengaruhi eksistensinya oleh media. Sebagian besar teori komunikasi kritis menekankan kepada kekuatan media massa karena potensi media untuk menyebarkan ideologi dominan dan potensinya untuk mengekspresikan ideologi yang alternatif dan berlawanan dengan ideologi dominan atau ideologi resistensi. Dalam konteks ini media dipandang sebagai arena pertarungan ideologi (site of strunggle for ideology) bagi beberapa kalangan penganut teori kritis terutama oleh kalangan cultural studies. Namun sebaliknya bagi kalangan pengikut Mahzab Frankfurt, media lebih dipahami sebagai bagian dari industri kebudayaan (culture industries) yang dikuasai oleh segelintir elit industri yang mampu menciptakan simbol-simbol yang dapat memanipulasi dan mengalienasi kelas-kelas lainnya. Singkatnya, berbeda dengan cultural studies yang melihat potensi media massa sebagai area pertarungan ideologi, Mahzab Frankfurt menganggap media massa dan segala bentuk kebudayaan massa sebagai bentuk budaya afirmatif yang tidak dapat diharapkan untuk menggapai emansipasi. mengenai berbagai bentuk artikulasi dalam memahami media massa dalam teori media kritis akan lebih dalam didiskusikan dalam pembahasan berikut ini.

Berkenalan dengan Komunikasi Massa

Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si
(Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, e-mail/friendster di my_fajarjun@plasa.com)

"I don't question our existance..I just question our modern needs..(Pearl Jam, Garden)


Ketika Sukma Ayu, artis muda berbakat yang melejit lewat sinetron Kecil-kecil Jadi Manten, meninggal dunia di bulan September 2004, setelah sempat beberapa lama mengalami koma, seluruh penggemarnya segera mengetahui berita kematiannya. Mereka yang bersimpati kepadanya, ramai-ramai mengirim pesan pendek (sandek) atau yang lebih dikenal dengan sebutan sms (service short massage) kepada berbagai stasiun televisi swasta yang memberi kesempatan kepada pemirsanya untuk mengungkapkan bela sungkawanya secara interaktif terutama melalui tayangan acara infotainment. Demikian pula ketika Parto, anggota kelompok lawak terkenal Patrio menembakan pistol ke udara untuk mengusir wartawan yang mengejar-ngejarnya di pertengahan tahun 2004, banyak penggemar tayangan infotainment segera mengetahui berita ini dari tayangan infotainment yang banyak bersebaran di berbagai stasiun televisi, seperti Kabar-kabari, Kross Cek, Cek n Ricek dan sebagainya.

Begitu pula ketika para teroris membajak beberapa pesawat dan menabrakannya ke gedung WTC di New York tanggal 11 September 2002, ratusan juta pasang mata penduduk dunia dengan cepat segera mengetahui secara rinci, detik demi detik, bagaimana pesawat menabrak gedung WTC dan diikuti runtuhnya gedung yang menjadi ikon Amerika Serikat ini. Tatkala gempa dan gelombang tsunami menerjang Aceh, Sumatera Utara dan berbagai negara di kawasan Samudra Hindia pada tanggal 26 Desember 2004, berbagai media, terutama media televisi, segera memberitakan bencana kemanusiaan yang merenggut nyawa lebih dari seratus ribu manusia ini.

Bahkan masyarakat Indonesia lebih dahulu mengetahui tsunami yang terjadi di Thailand, yang diliput secara besar-besaran oleh media televisi nasional dengan banyak mengambil gambar dari stasiun televisi CNN daripada bencana yang lebih mengerikan dalam skala yang jaun lebih besar yang terjadi di Aceh. Kondisi ini bisa dimaklumi karena pada tanggal 26 Desember, nyaris semua stasiun televisi di Indonesia terputus kontak komunikasi dengan kru liputannya di daerah bencana, sehingga baru sehari kemudian bencana maha dahsyat yang terjadi di Aceh diketahui secara luas oleh publik, setelah gambar-gambar bencana di Aceh dirilis secara besar-besaran oleh berbagai media massa.
Berbagai realitas inilah yang oleh Marshall Mc. Luhan disebut sebagai global village, sebuah perkampungan global yang terintegrasi melalui komunikasi. Komunikasi media modern telah memberikan kesempatan kepada jutaan manusia di seluruh dunia saling berhubungan dengan nyaris seluruh tempat di muka bumi tanpa harus terbatasi lagi oleh ruang dan waktu, serta serempak juga memberi kesempatan untuk berinteraksi melalui media massa. Suatu kondisi yang nyaris serupa dengan kehidupan di desa, di mana setiap warga desa dapat saling berkomunikasi dengan mudah dalam relasi sosial yang coraknya patembayan.

Perkembangan teknologi komunikasi massa tidak dapat dipungkiri telah banyak membantu umat manusia untuk mengatasi pelbagai hambatan dalam berkomunikasi. Khalayak dapat mengetaui apa yang terjadi di seluruh dunia jauh lebih cepat, bahkan sering kali khalayk lebih dahulu mengetahui apa yang terjadi jauh di luar negeri daripada di dalam negeri. Bukti paling nyata adalah, khalayak media massa di Indonesia lebih dahulu mengetahui terjadinya tsunami di Thailand dan Sri Lanka, daripada bencana yang serupa dengan skala yang jauh lebih menakutkan di Aceh dan Sumatera Utara. Padahal Thailand jaraknya berlipat kali dengan jarak Jakarta ke Aceh. Namun ternyata media massa kita, terutama televisi, tidak begitu tanggap ketika bencana tsunami menerjang Aceh dan Sumatra Utara. Media televisi pada tanggal 26 Desember 2004 masih sibuk dengan pemberitaan hiruk pikuk Munas Partai Golkar dan kasus perceraian Adjie Massaid dengan Reza Artamevia. Alasan lain, bisa jadi karena kemampuan teknologi media televisi kita masih di bawah CNN, sehingga bencana di Thailand yang diliput CNN yang lebih dahulu disaksikan pemirsa televisi di Indonesia.

Media massa merupakan pusat dari kajian komunikasi massa. Media massa menyebarkan pesan-pesan yang mampu mempengaruhi khalayak yang mengkonsumsinya dan mencerminkan kebudayaan masyarakat, dan mampu menyediakan informasi secara simultan ke khalayak yang luas, anonim dan heterogen, membuat media bagian dari kekuatan institusional dalam masyarakat. Bahkan di kalangan media, terutama di kalangan pers, media massa dianggap sebagai pilar demokrasi keempat setelah ekskutif, legislatif dan yudikatif. Peristiwa jatuhnya kekuasaan Orde Baru menunjukan bagaimana media massa mampu menggerakan rakyat yang sudah tidak percaya lagi kepada sistem yang ada di birokrasi eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Pada masa itu, semua lembaga demokrasi baik eksekutif, legislatif dan yudikatif berada dalam kekuasaan satu tangan satu. Begitu juga pers yang lebih banyak tunduk kepada negara dibandingkan dengan pers yang berani kritis terhadap negara. Jika ada pers yang berani kritis terhadap negara, maka pembredelan menjadi matra suci negara untuk menghabisi suara kritis. Pembredelan terakhir di masa kekuasaan Orde Baru menimpa Majalah Tempo, Majalah Editor dan Tabloid Detik. Namun alih-alih pembredelan ini memperkokoh rezim, yang terjadi adalah kalangan pers tetap saja kritis dengan menerbitkan penerbitan bawah tanah, seperti melalui internet yang relatif masih baru di Indonesia saat itu lewat situs tempointeraktif dan Apa Kabar Indonesia. Media cetak bawah tanah juga diterbitkan secara sembunyi-sembunyi melalui penerbitan Independen yang dikoordinir oleh Aliansi Jurnalis Independen dan Kabar dari Pijar yang diterbitkan oleh Pusat Informasi dan Jaringan Reformasi (Pijar).

Media massa sendiri dalam kajian komunikasi massa sering dipahami sebagai perangkat-perangkat yang diorganisir untuk berkomunikasi secara terbuka dan pada situasi yang berjarak kepada khalayak luas dalam waktu yang singkat (McQuail, 2002:17). Sejarah perkembangan media massa dimulai dari media cetak dalam bentuk pamflet dan buku, kemudian muncul surat kabar dan majalah yang terbit secara teratur. Penemuan film memberi tawaran baru bagi para khalayak dalam proses konsumsi mereka terhadap media secara lebih mengasyikan. Penemuan mesin rekam dalam bentuk fonogram, kaset, dan diikuti compact disc banyak memberi alternatif hiburan terutama bagi khalayak yang menyukai musik. Seiring dengan perkembangan teknologi digital, MP3 menjadi alat rekam yang disukai banyak kalangan, karena kemampuannya menyimpan ratusan lagu dan harganya yang relatif murah. Bahkan saat ini berkembang IpoD, sebuah alat yang dapat menyimpan jutaan lagu dalam alat yang besarnya tidak lebih dari sebuah pesawat telepon genggam. Berikutnya adalah media penyiaran radio dan televisi yang semakin memanjakan khalayak, terutama televisi yang memiliki sifat audiovisual. Saat final Piala Eropa tahun 2004, para penonton dapat mengikuti pertandingan tersebut melalui televisi yang menyiarkan final antara Portugal melawan Yunani dan nyaris dalam waktu yang bersamaan dapat mengetahui kekalahan Portugal dan kemenangan kuda hitam Yunani. Berbagai pertandingan Liga Champhion juga dapat disaksikan tanpa harus datang ke stadion. Ada fenomena menarik yang terjadi di Italia, di mana Liga Italia tahun 2004-2005 jumlah penontonnya yang datang langsung ke stadion menyusut drastis. Alasan para suporter malas datang ke stadion salah satunya adalah murahnya langganan televisi kabel yang menyiarkan berbagai pertandingan Liga Italia, sedangkan tiket masuk ke stadion sangat mahal bagi mereka.

Perkembangan teknologi komunikasi di bidang elektronika, telah melahirkan teknologi internet yang semakin menjadikan dunia seolah tiada batas. Semua orang yang mempunyai kesempatan untuk menyuarakan opininya melalui internet. Situs yang menyediakan layanan website gratis seperti blogspot dan geocities dapat digunakan sebagai sarana untuk menyuarakan opini. Di masa akhir kekuasaan Orde Baru, internet telah membuktikan perannya sebagai media underground dalam melawan berbagai regulasi Orde Baru yang memasung kebebasan pers. Situs tempo interaktif, yang merupakan reinkarnasi Majalah Tempo, yang dibredel saat itu, menjadi sarana yang efektif untuk membangun opini publik.

“Media” dalam konteks ini sudah tentu akan memiliki pengertian “mediasi” karena mampu menjembatani jarak (distance) antara khalayak dan dunia. Denis McQuail dalam bukunya McQuail’s Mas Communication Theory, 4th Edition (2002) mengemukakan beberapa penanda untuk memahami pemikiran ini: Media adalah jendela yang memungkinkan kita untuk melihat fenomena yang terjadi melebihi lingkungan dekat kita, penerjemah yang membantu kita membuat perasaan mengalami, platform atau pembawa yang menyalurkan informasi, komunikasi interaktif yang meliputi umpan balik kepada khalayak, penanda yang memberi kita dengan instruksi dan petunjuk, penyaring yang menyaring bagian-bagian pengalaman dan berfokus pada lainnya, cermin yang memantulkan realitas kita kepada kita kembali, dan pembatas yang menghalangi kebenaran (McQuail, 2002 : 66). Kemudian apakah sebenarnya pengertian dari media massa yang menjadi pusat dari kajian komunikasi massa ? Sampai saat ini tidak ada definisi yang tunggal ataupun definisi yang sederhana yang mampu memberi pengertian secara komprehensif mengenai media massa.

Definisi paling sederhana dari komunikasi massa dikemukakan oleh Bittner yang mendefinisikan komunikasi massa sebagai pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (Rakhmat, 1999 : 188). Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah komunikasi massa itu pesan atau proses ? Apa juga yang membedakannya dengan komunikasi interpersonal dan komunikasi bermedia (mediated communication) ?

Dengan penjelasan yang lebih sederhana, komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa, yakni surat kabar, radio, televisi, internet dan sebagainya. Bila sistem komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi interpersonal, maka secara teknis ada beberapa ciri komunikasi massa menurut Elizabeth – Noelle Neuman yang membedakannya dengan komunikasi interpersonal, yaitu pertama, bersifat tidak langsung, artinya harus melalui media teknis. Kedua, bersifat satu arah (one flow communication), artinya tidak ada interaksi antarpeserta komunikasi. Ketiga, bersifat terbuka, artinya ditujukan kepada publik yang tidak terbatas dan anonim. Keempat, memiliki unsur publik yang secara geografis tersebar (Rakhmat, 1999 : 189). Namun seiring dengan kemajuan teknologi agaknya ciri kedua perlu dikaji ulang, karena dengan memakai fasilitas telepon, sms atau teleconference, khalayak dapat mengirimkan komentar mereka terhadap satu isu yang sedang dibahas di layar televisi, sebagaimana ketika Sukma Ayu meninggal, para fans yang bersimpati segera mengirim sms ke berbagai stasiun televisi yang memberi kesempatan berinteraksi melalui beragam tayangan infotainment. Selain itu, perkembangan teknologi internet semakin menjadikan media kian tidak berjarak dengan khalayaknya.

Sedangkan Georg Gerbner memberi pengertian komunikasi massa dengan sebuah definisi singkat yaitu sebagai produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang berkelanjutan serta paling luas dipunyai orang dalam masyarakat industri (Rakhmat, 1999 : 188).

Para ahli komunikasi massa mengenal dua sisi dari kajian mengenai komunikasi massa. Satu sisi menekankan relasi antara media dan masyarakat yang lebih besar dan lembaga-lembaganya. Para penganutnya tertarik pada teori yang berkaitan relasi media-masyarakat perhatian terhadap cara media ‘dipasang’ di masyarakat dan pengaruh timbal balik antara struktur sosial yang lebih besar dan media. Sisi ini dianggap sebagai sisi makro dari teori komunikasi massa.

Sisi yang kedua menekankan kepada orang-orang sebagai kelompok atau individu. Sisi ini mencerminkan relasi antara media dan khalayak. Para penganut teori dalam sisi ini tertarik pada fokus relasi media-audiens dengan memberi penekanan pengaruh kelompok dan individu dan hasil dari transaksi media. Sisi kedua ini dianggap sebagai sisi mikro dari teori komunikasi.

Model ini mengandung arti bahwa dua sisi ini adalah dua hal yang berbeda, namun pada kenyataan mereka adalah hal yang sama dilihat dari perspektif yang berbeda. Relasi antara media dan lembaga adalah mungkin hanya melalui transaksi media dengan khalayak, dan relasi media adalah tidak mungkin untuk memisahkan dari lembaga dari masyarakat di mana khalayak ini tinggal. Sehingga, model ini bukan merupakan peta proses komunikasi massa namun menggambarkan area penelitian media dan teori.

Komunikasi massa sendiri memiliki sejarah yang panjang. Pada mulanya masyarakat kuno menggunakan bahasa oral dan isyarat untuk berkomunikasi. Suku Indian menggunakan asap sebagai bahasa isyarat untuk berkomunikasi dalam jarak yang jauh, masyarakat muslim tradisional di Indonesia memakai bedug untuk mengabarkan datangnya waktu sholat dan serombongan anak remaja sering berkeliling kampung di saat Bulan Ramadhan dengan beraneka alat musik sederhana, seperti kentongan dan galon air mineral untuk membangunkan masyarakat tatkala waktu sahur datang . Namun bukan berarti di era modern ini komunikasi massa yang sederhana ini sudah hilang dari peradaban. Di pedesaan, kentongan masih digunakan untuk memanggil warga desa jika ada pertemuan di balai desa atau jika terjadi ada bencana alam. Di perkotaan, ketika Bulan Ramadhan datang, banyak anak-anak muda yang membunyikan berbagai alat musik sederhana, kentongan, galon air mineral dan sebagainya untuk membangunkan masyarakat untuk sahur.

Penemuan tekonologi komunikasi yang semakin modern, membuat teori komunikasi massa menjadi semakin signifikan dalam kehidupan manusia. Internet, komputer, satelit dan telepon genggam adalah beberapa perkakas komunikasi massa yang banyak digunakan masyarakat modern baik secara langsung maupun tidak langsung. Memang kita tidak pernah secara langsung bersinggungan dengan satelit, namun ketika kita menggunakan telepon genggam untuk berkomunikasi, secara tidak langsung kita memanfaatkan fasilitas satelit yang berada jauh di antariksa.

Dewasa ini akses internet tidak lagi terbatas pada wilayah yang terjangkau jaringan telepon, namun cukup dengan komputer, modem dan telepon genggam yang dilayani operator yang memberi fasilitas akses internet maka kita tinggal klik. Bahkan dengan PDA (Personal Digital Assistant), hanya dengan komputer mini yang sudah dilengkapi fasilitas teknologi seluler, kita dapat mengakses semua informasi via internet. Publikasi berita juga tidak perlu lagi melalui alur yang kompleks, dari peliputan sampai distribusi, namun satu orang saja sudah mampu melakukan publikasi berita melalui situs pribadi di internet. Perkembangan teknologi ini menjadikan kajian komunikasi massa semakin menarik untuk dipelajari.

Kajian komunikasi massa tentu saja selalu berhubungan dengan perkembangan komunikasi massa, karena itulah komunikasi massa menjadi kajian dari ilmu komunikasi yang paling menarik. Sebab utama yang menjadikan kajian komunikasi massa menjadi kajian yang selalu menarik adalah perkembangan media massa yang mengalami perkembangan pesat dewasa ini serta semakin tergantungnya manusia dengan keberadaan media massa. Untuk membuktikan ketergantungan kita dengan media massa silahkan mencoba hal ini. Anda di rumah saja dengan tidak membaca koran, melihat berita di televisi, mendengar berita di radio dan mengakses situs berita di internet selama satu minggu. Singkatnya selama satu minggu jangan sekalipun mengkonsumsi media massa. Setelah satu minggu hidup tanpa media massa, Anda kemudian kembali ke komunitas Anda, baik kampus, lingkungan tempat tinggal atau lingkungan kerja Anda. Apa yang terjadi ketika Anda kembali ke komunitas Anda mudah ditebak. Anda pasti akan seperti Tarzan yang baru keluar dari belantara, karena kesulitan mengimbangi pembicaraan rekan-rekan Anda, ringkasnya Anda akan dianggap kuper (kurang pergaulan), gara-gara tidak mengkonsumsi media massa selama satu minggu saja.